Setelah membaca buku Quantum Ikhlas, lihat film The Secret, kemudian menghadiri presentasi “Setengah Isi Setengah Kosong”, maka aku jadi bernostalgia. Ternyata semu ajalan hidupku menjadi seperti ini adalah buah dari pancaran energi yang bersumber dari suara hatiku.
Kuingat ketika aku harus pindah rumah di Ajun Peukan Bada Aceh, karena tidak ada kesepakatan harga kontrak dengan pemilik rumah, maka tetangga depan rumahku dengan penuh antusias bersedia untuk menghubungi pemilik rumah agar harga sewa rumahnya diturunkan. Tentu maksudnya agar aku tetap berdekatan dengannya. Padahal selama tetanggaan dengan dia, lebih banyak materi yang kuterima dari dia dibanding materi yang kuberikan padanya.
Di Medan, aku sewa sebuah rumah, kemudian kawan-kawan yang mau tinggal di rumah itu membayar sewa kamar padaku. He..he..he… jadi inget ketika tiap hari harus masak mie instan, dengan segala macam metode.
Kalau dijumlah, sewa kamar yang kudapat dibanding yang kubayarkan, maka aku “tekor” banyak. Soalnya mereka membayar sesuai harga kamar kost sederhana, sementara aku membayar sewa rumah lengkap.
Saat itu, aku lkhlas menerima kondisi itu, disamping aku sanggup membayar kekurangannya, aku juga jadi punya temen ngobrol kalau nonton TiVi malem-malem. Yang tak terduga, yang punya rumah ternyata sering ngirimin aku makanan, mungkin menjaga agar aku tidak keriting karena kebanyakan makan mie instan.
Selama tinggal di rumah Jl Elang Medan itu, begitu banyak materi yang kudapat dari pemilik rumah maupun dari temannya orang yang mbayar sewa kamar padaku. Alhasil, total biaya yang kukeluarkan jadi optimal dan aku sanggup mengirim “ucapan terima kasih” pada orang tuaku di Yogya. Memang kata orang-orang, seberapapun “ucapan terima kasih” yang kita berikan pada orang tua kita, maka itu tetap tidak akan cukup untuk membalas kasih sayang mereka, yang bak matahari.
Di Surabaya, aku tinggal di kampung yang begitu damai (bagiku). Meskipun kemudian aku tahu, bahwa ada beberapa “kelompokisme” di kampung, namun ternyata aku tidak terpengaruh dengan kelompokisme itu.
Mereka memang pada membuat kelompok yang saling tidak setuju, namun semua kelompok itu mengakui aku sebagai salah satu anggotanya, dan sebenarnya mereka punya tujuan yang sama, yaitu bagaimana memakmurkan RT-nya (lingkungannya) agar memebri nilai tambah bagi penghuni kampung.
Mis komunikasi yang membuat mereka pecah menjadi beberapa kelompok.
Seiring dengan perjalanan waktu, maka kelompok-kelompok itu mulai makin mencair, dan meskipun tidak benar-benar mencair, tetapi keguyuban RT di Pondok Candra itu memberi ketenteraman hati pada para penghuninya.
Di Jakarta ini, setali tiga uang. Model cluster yang membuat kita saling tidak tahu kegiatan antar tetangga, tidak menyurutkan semangat bertetangga. Mereka adalah tetangga yang baik dan menyenangkan. Peringatan 17an tahun 2008 ini akan menjadi saksi betapa kompaknya Custer Montana yang kutempati sampai saat ini.
Benang merah dari semua kejadian itu adalah energi positif yang selalu kupancarkan secara sengaja maupun tida sengaja. Memang energi itu otomatis akan memancarkan suara hati kita. Jadi tinggal kita “tune” suara hati kita dengan musik asmaul husna, maka lingkungan kita akan baik dengan sendirinya. Tidak perlu berdakwah, cukup perkuat “broadcast” suara hati dan alam semesta ini akan diatur oleh Yang Maha Kuasa untuk menerima pancaran suara hati kita.
Pecahkan belenggu yang mengotori suara hati kita, dan pelihara “GOD SPOT” aga terus memancarkan suara hati yang berlafaz asmaul husna, 99 nama Allah yang indah. Insya Allah, hidup menjadi lebih bermakna. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar