Selasa, September 06, 2011

Mudik gak sampai 12 jam, balik ke Jakartanya 25 jam

"Berangkat jam berapa mas dari Yogya?"
"Sekitar jam 23 atau jam 11 malam"
"Sampai di Jakarta?"
"Pas jam 00.00"
"Berarti cuma sejam ya?"
"Hahahaha...benar cuma sejam Yogya - Jakarta plus satu hari !"



Perjalanan mengikuti arus balik ke Jakarta setelah puas bermain di Yogyakarta memang luar biasa bagiku. Mendengar orang lain mudik dan kembali ke jakarta dengan kisah heroiknya selalu membuat aku terbayang betapa perkasanya mereka menyetir mobil lebih dari 24 jam.

Kini kisah heroik itu kualami sendiri. Badan jadi kucel karena belum mandi dan capek karena duduk diam selama hampir 25 jam dikurangi jalan-jalan atau sholat. Pantat jadi semakin panas dan tidak tahu lagi harus digeser kemana.

Alhamdulillah, selama perjalanan banyak dinasehati oleh teman-teman dengan nasehat cesplengnya masing-masing. Akupun larut dalam syukur padanya. Minimal telah sampai di Jakarta dengan selamat tak kurang suatu apa.

"Tetap berdzikir mas, biar perjalanan ini berkah. Doa orang yang sedang dalam perjalanan mudah dikabulkan Tuhan mas"

"Wah aku tadi pagi di tempat sampeyan istirahat mas. Muacetnya memang tidak terprediksi"

"Aku baru mau masuk ke tol Cikampek mas. Baru 21 jam kok, jadi masih perlu waktu tambahan untuk masuk Jakarta"

"Aku akhirnya sampai bekasi dari Yogya memakan waktu 30 jam persis"

"Aku sudah 36 jam dan belum sampai Jakarta mas"

Berbagai komentar itu benar-benar ces pleng. Masih banyak yang lebih heroik dibanding aku yang saat itu baru sekitar 8 jam perjalanan.



Macet dimulai setelah aku menempuh jarak ratusan kilometer dan menapakkan ban mobil di jalan layang Raja Polah. Yogya Raja Polah kutempuh sekitar 6-7 jam dan kemudian perlahan-lahan kita maju semeter demi semeter. Akhirnya tertempuh jarak 10 km dan memakan waktu sekitar 6-7 jam. Persis sama dengan waktu tempuh Yogya - Raja polah.

Sepanjang perjalanan tidak banyak kecelakaan terjadi, kalaupun terjadi biasanya hanya terpeleset dari motor atau menyerempet kendaraan lain. Namun ternyata macetnya tidak terkira. Dugaanku jalan yang ada sudah tidak sanggup lagi menerima jumlah kendaraan yang lewat.

Di beberapa tempat kulihat pak Polisi dengan cekatan menangani dan mengurai daerah macet agar cepat mencair, tapi di beberapa tempat kulihat juga mereka asyik ngobrol sementara di sekitar mereka kemacetan seperti tontonan berita di TV saja. Mereka asyik bergurau dengan sesama polisi dan kitapun dibuat menjadi jengkel tanpa bisa berbuat apa-apa.

Polisi juga manusia ! Harus ada empati untuk mereka dan aku perlu berjuang keras untuk merubah simpati menjadi empati. Andai aku jadi mereka mungkin malah lebih parah daripada mereka barangkali.

Beberapa kali aku juga mengelus dada karena banyaknya pemudik yang mendahului dari sisi kiri maupun kanan mobil dengan cara yang sembrono dan melupakan kaidah-kaidah K3 (safety). Bagasi yang menyembul keluar dari bodi sepeda motor, anak kecil yang didekap erat di antara orang tuanya dan ngebutnya mereka di celah jalan yang sempit sementara lawan mereka adalah bis atau angkot yang tak kenal kasihan.

Mending kalau mereka memanfaatkan bahu jalan, tapi kebanyakan mereka malah justru berada di kanan jalur cepat dan siap tancap gas begitu melihat celah untuk masuk.



Terbiasa menempuh jarak Yogya Jakarta selama sekitar 12 jam, sekarang sampai dua kali lipat ternyata asyik juga. Sepanjang jalan penuh obrolan segar untuk menghilangkan jenuh di jalan.

Saat para penumpang lain ikut capek dan ketiduran, akupun terus berpikir untuk mencari solusi mudik tahun depan. Yang kupikirkan adalah betapa borosnya aku dalam membakar BBM dan demikian juga berapa ton BBM yang dibakar kendaraan lain yang sedang terkena macet saat ini.

Sebagian dari BBM yang dibakar itu adalah subsidi pemerintah dan artinya subsidi BBM ini tidak terpakai dengan optimal.

Padahal hari lebaran sebenarnya dalam ajaran Islam tidak harus dirayakan seperti ini.Justru hari Raya Qurban yang dirayakan dengan penuh kemeriahan.

Semoga tahun depan dapat mudik asyik tanpa pemborosan BBM. Minimal untuk lingkungan keluargaku, syukur-syukur banyak yang sependapat denganku untuk tidak membuang BBM dengan memacetkan jalan.

Andai tahun depan transportasi masal makin banyak dan rel dua track sudah bisa dibangun, maka kemacetan jalan akan makin sedikit. Memang butuh biaya besar, tapi kalau subsidi BBM dikurangi mungkin bisa dipakai untuk membangun sarana dan prasarana transportasi yang lebih memadai.