"Hujan, jalan bechek, syusyah nyari ojek", begitu kata Cinta Laura.
Kalau aku sih selalu gampang nyari ojek yang bertebaran di komplek Cikarang Baru. Meski begitu, tidak banyak di antara mereka yang tahu persis letak cluster montana. Aku gak tahu kenapa, tapi begitulah yang kualami selama lebih dari dua tahun tinggal di cluster montana.
Kukira-kira penyebabnya, mungkin tidak banyak warga montana yang suka naik ojek, sehingga otomatis tidak banyak tukang ojek yang pernah nganter ke montana.
Memang kalau ngeliat lingkungan di sekitar rumah, hampir semuanya punya mobil, minimal 1 buah. Demikian juga sepeda motor, dari yang electric sampai yang biasa.
Meski begitu, tukang ojek selalu dengan "PeDhe"-nya siap mengantar kita ke montana. Akibatnya, terjadilah kejadian-kejadian sebagai berikut :
1. Salah belok, baru benar arahnya setelah kita arahkan (kalau penumpangnya nggak tahu letak montana, dijamin bermasalah deh bertemu dengan tukang ojek model begini)
2. Setelah beberapa saat, tukang ojeknya nanya arah (ini sih lumayan)
3. Nyasar ke Taman Montana, bukan Cluster Montana-ku (sok "pedhe")
4. Benar arahnya ke montana, tetapi salah pintu masuknya (berarti pernah ke montana sebelum pintunya dipindah)
Sore itu, aku langsung dianter tukang ojek, tanpa nanya ini itu. "Wah, hebat tukang ojek ini", pikirku.
Selesai acara pembayaran, aku buka pagar mau masuk rumah. Kulihat tukang ojek itu masih di depan rumah dan masih memegang upahnya.
"Apa aku kurang bayar ya?", pikirku dalam hati, tapi langsung kubantah. Aku telah memberi upah yang sedikit lebih banyak dibanding yang sering diberikan orang.
"Saya dulu tinggal di depan itu pak", kata pak Ojek, seolah menjawab apa yang ada dalam pikiranku.
"Dulu saya punya tanah 1 ha, terus tak jual ke pengembang", lebih jauh dia menjelaskan.
Aku kayak orang bodoh aja mendengarkan cerita ngalor ngidulnya (eh..., emang aku orang pinter atau bodoh sih..???!:-)
Rupanya, dulu tukang ojek itu punya sawah di lokasi perumahan ini. Dia sering, malem-malem, main-main di tempat yang kutinggali ini. Nunggu air untuk sawahnya, begitu katanya.
Waktu itu per meter dia jual tanahnya seharga 250 perak. Wuihhh, murah banget ya. Sekarang entah sudah berapa harga tanah di komplek ini. Uang penjualan tanah itu dipakai untuk naik haji, katanya.
Begitulah rupanya sebab tukang ojek itu tetep nongkrong di sepeda motornya. Akupun mengawani dia bernostalgia. Sampai akhirnya dia merasa sudah cukup bercerita dan pamitan.
Kuucapkan terima kasih dengan senyum ikhlasku (insya ALlah), semoga kita selalu mendapat bimbinganNya. Amin.
Pelajaran hari itu adalah :
1. Tukang ojek juga manusia, yang punya cita-cita dan perlu diajak untuk ngobrol ngalor ngidul.
2. Setiap orang punya nostalgia, dan ketika ada waktu untuk menikmati nostalgia itu, maka wajah yang keruh bisa berubah menjadi cerah ceria.
3. Senyum yang ikhlas, insya Allah selalu menjadi obat dari segala penyakit hati.
4. Pembaca, tambahin sendiri aja ya ......
Salam senyum.
Foto di atas bukan foto tukang ojek, tapi yang mbayar ojek nyobain mobil karangan dewe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar