Malam Sabtu, saat Brazil bertanding melawan Portugal, aku harus meninggalkannya. Kupaksakan diriku meluncur malam-malam dari Bogor menuju Cikarang. Kutaksir perjalanan akan memakan waktu sekitar setengah jam sampai satu jam, sehingga masih bisa menikmati ujung pertandingan Brazil melawan Portugal, minimal bisa mendengar komentar dari para komentator (yang pelit waktunya) dan melihat tayang ulang gol-gol yang terjadi.
Awal perjalanan sangat lancar, mobil bisa kupacu di atas 140 km/jam, tetapi begitu masuk simpang Cikunir ternyata macetnya luar biasa. Perjalanan sederhana ini akhirnya menjadi rumit, karena kondisi badanku yang saat itu sedang drop setelah seminggu mengawal acara outbond dan pikiranku yang ingin cepat sampai ke rumah.
Akhirnya aku harus melupakan acara piala dunia dan langsung memeluk bantal guling begitu sampai ke rumah. Pagi-pagi aku harus segera meluncur ke airport untuk terbang ke Yogya dalam rangka ketemu dengan anak-anakku tercinta di Yogya, sehingga malam ini aku harus jaga kondisi dan melupakan piala dunia di dini hari yang dingin ini.
Di Yogya ada mbak Litha yang begitu baik menungguin rumah di Yogya dan ada mbak Lukluk yang sedang mengikuti kemah wajib sekolahnya. Ada acara mengambil raport juga di hari Sabtu pagi ini.
Seperti biasa, aku suka menunggu waktu boarding dengan nongkrong di Lounge. Beberapa kali mendapat masalah di Lounge itu, tetapi tetap saja tidak membuat aku kapok. Kali ini masalah itu kembali menimpaku. Tak ada panggilan keberangkatan pesawat ke Yogya, yang ada adalah panggilan ke kota lain, tetapi ternyata pesawat ke Yogya sudah boarding dan aku harus berlari-lari kecil diikuti pandangan dari petugas pesawat yang menyiratkan pandangan kejengkelan yang khas saat mereka melihat penumpang yang terlambat naik pesawat.
Sampai di Yogya, aku dijemput Totok, adikku yang ke tiga dan kemudian aku langsung menuju ke SMAN 1 Teladan untuk mengambil raport.
"Kok siang banget baru sampai pak?", kata ibu wali kelas dengan ramahnya padaku.
Sambil senyum kujelaskan kondisiku saat ini dan kamipun asyik ngobrol tentang prestasi LukLuk di sekolah. Beberapa kertas kutanda tangani dan ada satu lembar kertas yang harus diisi berupa usulan untuk kemajuan sekolah SMAN 1 Teladan Yogyakarta.
Karena saat itu baru saja selesai mengawal acara outbond, maka usulan yang kusampaikan tidak jauh dari acara outbond. Kutulis bahwa sebaiknya outbond di SMAN 1 tidak berupa anjuran "sunah muakad", tetapi bersifat wajib bagi yang secara fisik mampu mengikutinya.
Lukluk tentu saja tersenyum ketika siangnya kuceritakan usulan ini padanya.
Sehabis dari sekolah Lukluk, aku berduaan sama Litha jalan-jalan dan akhirnya
mampir ke warung CERIA. Ada banyak jenis minuman segar di situ dan kami menikmatinya berduaan.
Dengan kecepatan penuh, kami minum Es Ceria dan kemudian meluncur menuju ke sekolah mbak Lukluk lagi, karena mbak Lukluk sudah selesai acara kemahnya dan saat ini sedang di sekolahnya menunggu jemputanku.
Ternyata barang-barang Lukluk masih di mobil lainnya yang saat ini masih "OTW" ke Yogya. Jadilah aku ngobrol berdua sama Lukluk. Kami ngobrol bermacam-macam hal, terutama tentang hasil diskusiku dengan Ibu Guru Wali Kelas Lukluk.
Suasana yang riuh rendah disekolah Lukluk membuat aku larut dalam nostalgia saat aku masih SMA dulu dan study tour ke Surabaya. Wow mengapa wajah-wajah ganteng dan cantik itu kembali bersliweran di hadapanku? Apakah mereka tidak capek lari-lari di dalam ingatanku?
Sampai di rumah, ternyata ada telpon dari travel yang akan mengantarku ke Jakarta. Langsung saja kami sibuk ngurusi persiapan ke Jakarta. Kesibukan ini makin lengkap, karena aku harus memperbaiki telepon dan kunci rumah yang hanya bisa dikunci dari dalam saja.
Akhirnya aku berhasil mengganti kunci pintu dengan yang baru dan sebentar kemudian aku bersama anak-anak sudah masuk dalam sebuah mobil bersama tiga orang veteran perang yang akan menghadiri acara kenegaraan di Jakarta.
Dengan santainya para veteran perang itu berkelakar dan ngobrol ngalor ngidul di depan kami. Pak Sopirpun ikut meramaikan obrolan itu dengan serunya.
"Pak siapa sih namanya, jangan sampai salah sebut atau hanya mengenal sebagai sopir tapi gak kenal namanya?"
"Wah saya masih muda pak, meskipun wajahnya tua tetapi umur masih muda. Baru kepala 4 pak"
"Wah baru empat puluhan ya? Kalau aku kelahiran tahun 36, jadi umur berapa ya? Kalau Ibuku sendiri umurnya sudah di atas seratus tahun"
Ups...bapak-bapak ini rupanya seumuran dengan ibuku. Hanya saja penampakan mereka jauh dari umur mereka. Suara mereka masih menggelegar dan wajah bersih mereka terlihat sangat ramah menyambutku. Salah satu dari mereka langsung mengulurkan tangan padaku. Akupun membagi kartu namaku pada mereka yang bagiku sangat istimewa.
"Kami ini semua manusia cacat mas. Yang di depan itu matanya tinggal satu", kata yang paling tua seolah-olah menganggap mata tinggal satu adalah hal yang sangat lumrah, seperti juga kaki yang lecet karena terjatuh.
"Saya ini lebih cacat lagi. Ada peluru yang masih mengeram di badan dan ada penyakit gula juga", lanjut veteran yang paling tua itu. Di cerita-cerita selanjutnya, aku baru tahu bahwa veteran perang tertua ini berasal dari Makasar dan beristri orang Yogya. Bahasa Jawanya sangat lancar cuma logat Makasarnya memang susah dihilangkan, sehingga terdengar lucu di telinga orang Yogya.
"Kami diundang oleh istana negara untuk menghadiri acara kepresidenan, jadi kami sepakat naik mobil ini bareng-bareng. Ini saat yang sangat ditunggu-tunggu, berkumpul dengan teman-teman sesama veteran", lanjut veteran dari Makasar itu.
Satu orang lagi kita jemput di rumahnya dan lengkaplah 4 (empat) orang veteran mengawani perjalanan ke Jakarta. Sepanjang jalan mereka terus berkelakar, kadang bercerita dengan nada serius dan kadang bercerita tentang asmara di usia lanjut. Kadang mereka lupa kalau ada anak ABG yang duduk bersama mereka.
Luar biasa memang kemampuan mereka bercerita. Tanpa henti mereka bergantian bicara tentang apa saja, mulai dari jam 16.00 sore dari Yogya, sampai jam 04.00 pagi di Jakarta.
Kututup hari yang melelahkan ini dengan mengambil beberapa hikmah.
- Tidak usah menyesal tidak nonton Brazil vs Portugal, karena mereka bermain aman kosong-kosong, jadi ternyata Tuhan sudah memberikan cerita terbaik untukku.
- Aku mempunyai anak-anak yang begitu cantik dan mempunyai karakter unik dan menyenangkan hati orang tuanya.
- Ada bapak-bapak yang jauh lebih tua dariku dengan penampilan lebih trendi dan memandang dunia ini sebagai sebagai tempat mampir hidup.
- Kebahagiaan memang hanya bisa kita pilih sendiri bukan dari pilihan orang lain.
Benar kata pak Purdi EC, Tuhan selalu berkata YA terhadap doa dari semua hambaNya.