Pertanyaan klasik itu selalu mengawali perjumpaan dalam setiap acara syawalan, kopdar atau apapun yang mempertemukan dua orang yang lama tidak bertemu. Lebaran dan pasca lebaran adalah saatnya punggung diluruskan, otak kiri diistirahatkan dan segala macam penon aktifan hal-hal yang reguler dilakukan.
Lebaran adalah saat otak kanan aktif bekerja dan saat otot-otot di wajah menjadi relax, senyum mengembang kemana-mana bahkan ke orang yang tidak dikenal. Semuanya muncul secara otomatis saat lebaran tiba.
Yang masih kusesali adalah kualitas ibadahku di bulan puasa kemarin. Seharusnya aku bisa lebih berkualitas, tidak hanya mengulang rutinitas tahun lalu tapi memberi sentuhan di berbagai kegiatan agar bisa menjadi lebih berkualitas.
Bulan puasa yang akan datang masih lama dan tidak ada satu orangpun yang tahu, siapa saja yang masih bisa bertemu dengan lebaran tahun depan. Semoga kita masih dimasukkan dalam kelompok yang bertemu lebaran tahun depan dalam kondisi yang lebih sehat dibanding saat ini.
Kita harus mampu meningkatkan kualitas ibadah dengan lebih signifikan, agar makna syawalan lebih terasa di hati kita. Dua bulan lagi ada batu loncatan untuk meningkatkan ibadah kita padaNya. Lebaran Haji selalu memberi nilai lebih untuk keikhlasan kita berkorban.
Mari kita tanya sendiri pada hati kita yang paling dalam. Sudahkah korban yang kita lakukan melalui hati yang ikhlas atau jangan-jangan masih ada keterpaksaan di korban kali ini?
Lebaran 1433 H terasa sangat berbeda di banding tahun-tahun lalu. Biasanya aku mudik ke Jogja naik mobil rame-rame menembus kemacetan di sepanjang jalan. Kadang aku mudik dari Surabaya dan anak istri dari Jakarta, ketemu di Jogja. Kadang memakai dua mobil kadang memakai satu mobil.
Tahun lalu aku tidak ditemani anak istri ke Jogja, berduaan saja dengan sopir dan lancar sampai ke Jogja dengan waktu tempuh 13 jam plus berhenti di berbagai pemberhentian. Buka di jalan, istirahat malam dan makan sahur.
Waktu arus balik baru aku merasakan pengalaman pertama dalam hidupku. 25 jam di perjalanan yang super macet. Kecepatan sering nol dan kalau jalan hanya beberapa meter langsung macet lagi. Kalau mendengar cerita orang-orang, "itulah keasyikannya mudik pakai jalan darat"
Bagiku tetap tidak nyaman, karena nuansanya sanagt berbeda dengan ketika aku jalan darat dari Medan ke Jakarta selama 3 (tiga) hari. Kita bisa memacu kendaraan dalam batas yang nyaman dan aman, tetapi saat arus balik tahun lalu, kita lebih sering parkir di tengah jalan daripada memacu kendaraan kita.
Tahun ini dengan mengantisipasi turunnya jumlah pengguna angkutan kereta api, terbatasnya angkutan darat maupun udara lainnya, maka bisa dipastikan hanya angkutan kereta api yang relatif lebih pasti keberangkatan maupun kedatangannya.
Benar saja, kawanku dari Bogor sampai Jakarta menempuh waktu perjalanan selama 48 jam. Wouw.. rekor yang menyedihkan. Semoga saja itu menjadi kenangan manis nanti, tapi saat kejadian pasti menjadi siksaan yang cukup membuat resah gelisah.
Sejak H-90 aku memang sudah membeli tiket dengan memperkirakan hari libur yang mungkin ada. Hasilnya tanggal 15 Agustus bis anaik BIMA dan 26 Agustus naik Lion. Aman dan sangat lancar. Jakarta ketika kutinggal masih belum padat dan ketika kudatangi masih belum normal. Saat kutulis artikel ini, Jakarta sudah normal lagi. Berita El Shinta tentang kepadatan lalu lintas sudah mewarnai hari-hari ini.
Biasanya hari lebaran adalah harinya anak-anak dan istri untuk menentukan tempat rekreasi yang paling nyaman. Beberapa tahun ini sejak orang tua sudah tidak ada dua-duanya, kebiasaan di keluarga adalah meluncur ke Kaliurang setelah selesai sholat Ied dan berkunjung ke tetangga serta orang yang dituakan.
Ustadz Wijayanto yang aktif di berbaga media dakwah juga menyerahkan jadwal waktu lebaran pada keluarganya. Tak ada deal tauziah yang dikeluarkannya, semuanya tergantung anak dan istrinya. Ini berbeda dengan rutinitas lebaran yang kulakukan. Selalu saja ada acara mudik Jakarta di Jogja, baik dari lingkungan alumni maupun kawan sepekerjaan di Jakarta, kebetulan aku juga selalu kebagian jadi panitia.
Beberapa hari aku sudah kumpulkan anak dan istri, kutanya mereka mau liburan kemana dan jawaban mereka beragam. Beberapa tempat disebut dan kesimpulan terakhir adalah lebaran di rumah saja.
"Kita lebaran di rumah saja, tapi acaranya masak masakan Jepang dan lain-lain ya pak"
Jadilah setelah lebaran malah kita sibuk ke pasar mencari material untuk masak. Berbagai macam model masakan dicoba dan hasilnya ada yang membuat pingin memasak lagi dan ada yang kurang diminati. Maklum model masakan kali ini kita terpengaruh oleh acara TV yang selalu menekankan pada inovasi masakan.
Masakan memang inovatif tapi rasanya kadang terlalu inovatif alias aneh !:-)
Ternyata menikmati lebaran di rumah saja juga asyik. Adik-adik dan keponakan berkumpul ke rumah dan kemudian pergi rame-rame ke rumah saudara yang tidak bisa keluar rumah atau yang sedang ditamuin oleh banyak saudara.
Lebaran tahun 1433 H ini memang luar biasa. Lebaran di rumah saja, kenapa tidak?