Mau tahu kualitas ibadah kita selama bulan Ramadhan?
Gampang saja. Lihatlah apa yang kita lakukan setelah bulan Ramadhan dan bandingkan dengan sebelum bulan Ramadhan. Bila masih sama, maka sebenarnya kita tidak mendapat apa-apa dari adanya bulan Ramadhan. Silahkan direnungkan sendiri.
Menjelang selesainya bulan Ramadhan, kita sering disibukkan oleh kegiatan yang menjauhkan diri kita dari adanya bulan Ramadhan. Sibuk mudik, sibuk menyiapkan hidangan hari lebaran atau sibuk mencari baju baru, itulah potret kebanyakan dari kita.
Aku sendiri merasa ada yang salah dengan mengambil hari pembukaan Mie Sehati pada hari "H+2". Sejatinya rencana awal pembukaan mie ayam sehati adalah pada tanggal 14 September 2010. Sayangnya hari itu sudah dipakai untuk acara Mudik Sipil 2010, sehingga keluargaku berkeberatan kalau harus berbagi acara dengan mudik sipil 2010.
Sampai malam takbiran, kita masih disibukkan dengan persiapan warung dan malah melupakan persiapan menjelang perginya bulan Ramadhan.
Kulihat kehidupan di sekelilingku dan kulihat juga komentar kawan-kawan di akhir Ramadhan maupun setelah menginjak bnulan Syawwal. Rasanya ada yang kurang pas dengan Ramadhan di Indonesia.
Budaya mudik ini sudah jadi budaya yang malah menjauhkan kita dari esensi bulan Ramadhan. Adakah gerakan mengembalikan nafas Ramadhan ke nafas aslinya?
Rabu, September 22, 2010
Selasa, September 07, 2010
Jadi Imam Mesjid
Mendekati hari "H" Lebaran, maka masjid makin sepi saja. Kemarin malam hanya ada beberapa orang yang hadir di Masjid Hutama Karya. Satu deret jamaah saja tidak penuh, banyak jamaah yang hari itu tidak bisa datang ke masjid.
Hari ini, kulihat jamaah Isya dan Tarwikh cukup banyak. Aku sedikit tersenyum, alhamdulillah, berarti kemarin malam ada yang berhalangan sehingga masjid jadi sepi. Hari ini terbukti masih banyak yang hadir sebagai jamaah setia masjid Hutama Karya ini.
Setiap malam aku memang sering sholat jamaah di masjid ini dibanding sholat jamaah di masjid Waskita. Soalnya di masjid Waskita lebih seru kalau siang hari. Jamaahnya padat dan sebagian besar tetap berada di Masjid begitu usai sholat, bukan untuk tidur tapi untuk mendengarkan cerita ustadz tentang segala hal yang perlu dikaji dari Al Quran dan Hadits.
Malam ini begitu iqomah dikumandangkan, aku langsung berdiri seperti biasa, tetapi ternyata beberapa jamaah mendorongku untuk maju terus.
"Astaghfirullah", kataku dalam hati. Ternyata dari begitu banyak jamaah ini, wajah imam ataupun pendamping imam yang kukenal biasanya duduk di barisan paling depan ternyata tidak ada terlihat satupun.
"Ayo pak, sekali-kali jadi imam di sini", kata beberapa orang sambil mendorong pelan tubuhku.
Tanpa terasa aku sudah sampai di deretan terdepan di sajadah imam masjid. Ya sudah, bismillah, kumulai tugasku sebagai imam yang pertama kali di masjid ini.
Pikiranku tiba-tiba kembali ke dua puluh tiga puluh tahun lalu, saat aku masih aktif di masjid Perumnas Condong catur. Dunia ini seperti berputar kembali lagi ke peristiwa yang kualami dulu.
"Astaghfirullah", kembali aku berucap. Kenapa saat jadi imam pikiranku bisa multitasking kemana-mana ya, bukankah ini tanggung jawab yang besar bagiku. Apa jadinya kalau aku salah dalam memimpin jamaah di masjid ini?
Kucoba singkirkan beberapa gangguan pikiran multitasking ini. Meski sulit, akhirnya aku berhasil menyelesaikan tugas sebagai imam sholat Isya, Tarwikh dan Witir.
"Alhamdulillah"
Entah kenapa aku selalu merasa sangat puas setiap kali sholat Tarwikh dengan model 4-4-3 bukan 2-2-2-2-2-1. Bukan karena aku merasa metode ini yang paling benar atau yang lain tidak benar, tapi kenangan betapa nyamannya sholat tarwikh waktu kecil selalu muncul setiap aku sholat dengan model 4-4-3.
Aku tawarkan dulu model sholat ini pada para jamaah sebelum aku mulai mengangkat takbir. Beberapa jamaah mengangguk dan salah satu jamaah malah bilang, "kayak MU pak".
Aku yang kurang dengar dengan kalimat itu minta komentar itu agar diulangi lagi dan aku terpaksa jadi ikut tersenyum.
"Ada-ada saja bapak ini, mau sholat kok malah cerita MU"
Fenomena makin sedikit jamaah sholat di suatu masjid adalah fenomena yang hampir terjadi di setiap masjid. Di hari terakhir Ramadhan, kadang hanya ada tiga orang jamaah masjid dan ketiga-tiganya adalah panitia Zakat Fitrah.
Kita memang sering lupa akan esensi Ramdhan, seperti juga kita sering lupa esensi acara Buka Bersama. Acara yang seharusnya bernuansa religi itu lebih sering jadi acara mengumbar nafsu saja. Lebaran tidak ditangisi karena berpisah dengan Ramadhan tapi justru dirayakan karena baru terima THR.
Acara Buka bersama juga sering tidak dilanjutkan dengan sholat berjamaah tarwikh, bahkan lokasi buka bersama kadang-kadang mencari tempat sholatnya saja susah.
Aku ajak diriku sendiri untuk selalu ingat Allah dimanapun berada. Semoga Allah menunjukkan yang benar adalah yang benar dan aku diberi kemudahan untuk melaksanakan kebenaran itu.
Amin.
Salam Sehati
Hari ini, kulihat jamaah Isya dan Tarwikh cukup banyak. Aku sedikit tersenyum, alhamdulillah, berarti kemarin malam ada yang berhalangan sehingga masjid jadi sepi. Hari ini terbukti masih banyak yang hadir sebagai jamaah setia masjid Hutama Karya ini.
Setiap malam aku memang sering sholat jamaah di masjid ini dibanding sholat jamaah di masjid Waskita. Soalnya di masjid Waskita lebih seru kalau siang hari. Jamaahnya padat dan sebagian besar tetap berada di Masjid begitu usai sholat, bukan untuk tidur tapi untuk mendengarkan cerita ustadz tentang segala hal yang perlu dikaji dari Al Quran dan Hadits.
Malam ini begitu iqomah dikumandangkan, aku langsung berdiri seperti biasa, tetapi ternyata beberapa jamaah mendorongku untuk maju terus.
"Astaghfirullah", kataku dalam hati. Ternyata dari begitu banyak jamaah ini, wajah imam ataupun pendamping imam yang kukenal biasanya duduk di barisan paling depan ternyata tidak ada terlihat satupun.
"Ayo pak, sekali-kali jadi imam di sini", kata beberapa orang sambil mendorong pelan tubuhku.
Tanpa terasa aku sudah sampai di deretan terdepan di sajadah imam masjid. Ya sudah, bismillah, kumulai tugasku sebagai imam yang pertama kali di masjid ini.
Pikiranku tiba-tiba kembali ke dua puluh tiga puluh tahun lalu, saat aku masih aktif di masjid Perumnas Condong catur. Dunia ini seperti berputar kembali lagi ke peristiwa yang kualami dulu.
"Astaghfirullah", kembali aku berucap. Kenapa saat jadi imam pikiranku bisa multitasking kemana-mana ya, bukankah ini tanggung jawab yang besar bagiku. Apa jadinya kalau aku salah dalam memimpin jamaah di masjid ini?
Kucoba singkirkan beberapa gangguan pikiran multitasking ini. Meski sulit, akhirnya aku berhasil menyelesaikan tugas sebagai imam sholat Isya, Tarwikh dan Witir.
"Alhamdulillah"
Entah kenapa aku selalu merasa sangat puas setiap kali sholat Tarwikh dengan model 4-4-3 bukan 2-2-2-2-2-1. Bukan karena aku merasa metode ini yang paling benar atau yang lain tidak benar, tapi kenangan betapa nyamannya sholat tarwikh waktu kecil selalu muncul setiap aku sholat dengan model 4-4-3.
Aku tawarkan dulu model sholat ini pada para jamaah sebelum aku mulai mengangkat takbir. Beberapa jamaah mengangguk dan salah satu jamaah malah bilang, "kayak MU pak".
Aku yang kurang dengar dengan kalimat itu minta komentar itu agar diulangi lagi dan aku terpaksa jadi ikut tersenyum.
"Ada-ada saja bapak ini, mau sholat kok malah cerita MU"
Fenomena makin sedikit jamaah sholat di suatu masjid adalah fenomena yang hampir terjadi di setiap masjid. Di hari terakhir Ramadhan, kadang hanya ada tiga orang jamaah masjid dan ketiga-tiganya adalah panitia Zakat Fitrah.
Kita memang sering lupa akan esensi Ramdhan, seperti juga kita sering lupa esensi acara Buka Bersama. Acara yang seharusnya bernuansa religi itu lebih sering jadi acara mengumbar nafsu saja. Lebaran tidak ditangisi karena berpisah dengan Ramadhan tapi justru dirayakan karena baru terima THR.
Acara Buka bersama juga sering tidak dilanjutkan dengan sholat berjamaah tarwikh, bahkan lokasi buka bersama kadang-kadang mencari tempat sholatnya saja susah.
Aku ajak diriku sendiri untuk selalu ingat Allah dimanapun berada. Semoga Allah menunjukkan yang benar adalah yang benar dan aku diberi kemudahan untuk melaksanakan kebenaran itu.
Amin.
Salam Sehati
Minggu, September 05, 2010
Hari yang panjang
"Hape ibu dicopet orang pak!", kata istriku di ujung telepon.
"Ibu kenapa gak ati-ati sih?", kataku dalam hati
"Gimana ceritanya?", ucapku yang terlontar lewat telepon
"Pasarnya rame banget dan ibu didesak-desak olah banyak orang. Didorong-dorong dan tahu-tahu dompet ibu sudah hilang"
"Tahu pasar ramai kok dimasukin. Kok nggak nyari tempat yang nggak rame sih? Dari tadi pagi aku kan sudah bilang nggak mau ke pasar Jatinegara, barang yang dijual murah tapi copetnya bikin ngeri", kataku masih dalam hati
"Ibu kok gak ati-ati sih", akhirnya terlontar juga ucapan yang ada di dalam hatiku tadi
"Dompetnya sudah kupegangi, tapi tetap juga tahu-tahu hilang tanpa terasa"
"Ya sudah kirim SMS saja apa yang hilang nanti kita urus. Segera lapor kantor polisi dan aku akan telepon ke Mandiri untuk blokir kartu ATM itu"
"Aku gak apal nomor hape bapak"
"Halah...lha tadi kok bisa kirim SMS ke aku"
"Itu nomor Litha. Aku kirim SMS ke Litha dan Litha yang kirim SMS ke Bapak"
"Lho? Aku kok nggak ada data nomor Litha yang ini?", kataku dalam hati
"Kalau begitu ibu kirim lagi SMS ke Litha dan tulsi apa saja yang hilang yang bis asegera kita blokir", kataku via telepon sambil tetap bertanya-tanya "kok aku nggak punya nomor Litha ya?"
Akupun kemudian telepon ke Bank Mandiri 14000 dan setelah lama menunggu antrian, akhirnya bisa juga bicara dengan operator Bank Mandiri.
Wow, ternyata lapor kehilangan kartu ATM Mandiri ini benar-benar "njlimet" karena pihak Bank memberi pertanyaan yang sangat teliti. Mbak Lila, sang operator dari bank Mandiri, begitu telaten bertanya segala macam pertanyaan standard yang aku kadang-kadang kebingungan menjawabnya.
Kapan transaksi terakhir, berapa saldonya, dimana buka tabungan pertama kali, dan pertanyaan semacam itu yang membuat aku harus memeras otak dulu untuk mengingatnya.
Akhirnya sukses juga melakukan blokir ATM Mandiri. Tinggal melakukan blokir untuk kartu-kartu yang lain.
Jadilah hari ini penuh dengan acara lapor ke kepolisian, telepoon ke Bank, Gerai Provider Fren dan segala tetek bengeknya masuk foto copy laporan ke Polisi.
Yang bikin suasana jadi meriah adalah hilangnya nomor ponsel Kak Bimo yang hari ini harus mengisi acara di Islamic Centre bekasi.
Sebuah tajuk acara "Ceria Bersama Anak-anak" digelar oleh Komunitas Tangan Di Atas (TDA) Bekasi dengan mendatangkan Pendongeng Sejuta Anak, Kak Bimo dan yang menarik adalah tidak ada yang tahu nomor ponsel kak Bimo, sementara itu kak Bimo juga tidak melihat statusku di FB kalau nomor ponsel istriku tidak bisa dihubungi karena dicopet orang.
Alhasil, perlu bantuan dari anak-anakku yang di Jogja untuk main ke rumah kak Bimo untuk menanyakan nomor Kak Bimo.
Fuih...!
Akhirnya, dapat juga SMS dari anak-anakku berisi nomor ponsel kak Bimo. Alhamdulillah. Terima kasih pada kedua anakku yang mau berjalan kaki di tengah panasnya cuaca menuju rumah Kak Bimo.
Puji syukur kupanjatkan ke pada Allah swt. Acara "Ceria bersama Anak-anak" sukses luar biasa berkat penampilan para pengisi acaranya yang memang pilihan.
Penampilan kak Bimo juga layak diacungi jempol. Hampir semua anak-anak tersihir oleh ucapan dan gerak-gerik kak Bimo yang sangat atraktif. Bahkan orang tua yang ikut hadir di acara itupun ikut terkekeh-kekeh melihat aksi kak Bimo di Panggung.
Selesai acara Lilo haerus pulang lagi ke Jogja, bersama kak Bimo dan istriku. Malam semakin larut ketika akhirnya aku tinggal sendirian lagi di Jakarta.
Tanggal 7 September 2010 insya Allah bisa mudik dan berkumpul bersama handai taulan di Jogja. Ada mudik Waskita, mudik Sipil, temu Cimart, Munas Katgama (versi internet) dan kopdar TDA Jogja menungguku. Belum lagi acara pertemuan dua keluarga besar kami (keluarga istriku dan keluargaku) di rumah Cungkuk.
Semoga aku bisa mengikuti semua acara itu dengan baik. Amin.
"Ibu kenapa gak ati-ati sih?", kataku dalam hati
"Gimana ceritanya?", ucapku yang terlontar lewat telepon
"Pasarnya rame banget dan ibu didesak-desak olah banyak orang. Didorong-dorong dan tahu-tahu dompet ibu sudah hilang"
"Tahu pasar ramai kok dimasukin. Kok nggak nyari tempat yang nggak rame sih? Dari tadi pagi aku kan sudah bilang nggak mau ke pasar Jatinegara, barang yang dijual murah tapi copetnya bikin ngeri", kataku masih dalam hati
"Ibu kok gak ati-ati sih", akhirnya terlontar juga ucapan yang ada di dalam hatiku tadi
"Dompetnya sudah kupegangi, tapi tetap juga tahu-tahu hilang tanpa terasa"
"Ya sudah kirim SMS saja apa yang hilang nanti kita urus. Segera lapor kantor polisi dan aku akan telepon ke Mandiri untuk blokir kartu ATM itu"
"Aku gak apal nomor hape bapak"
"Halah...lha tadi kok bisa kirim SMS ke aku"
"Itu nomor Litha. Aku kirim SMS ke Litha dan Litha yang kirim SMS ke Bapak"
"Lho? Aku kok nggak ada data nomor Litha yang ini?", kataku dalam hati
"Kalau begitu ibu kirim lagi SMS ke Litha dan tulsi apa saja yang hilang yang bis asegera kita blokir", kataku via telepon sambil tetap bertanya-tanya "kok aku nggak punya nomor Litha ya?"
Akupun kemudian telepon ke Bank Mandiri 14000 dan setelah lama menunggu antrian, akhirnya bisa juga bicara dengan operator Bank Mandiri.
Wow, ternyata lapor kehilangan kartu ATM Mandiri ini benar-benar "njlimet" karena pihak Bank memberi pertanyaan yang sangat teliti. Mbak Lila, sang operator dari bank Mandiri, begitu telaten bertanya segala macam pertanyaan standard yang aku kadang-kadang kebingungan menjawabnya.
Kapan transaksi terakhir, berapa saldonya, dimana buka tabungan pertama kali, dan pertanyaan semacam itu yang membuat aku harus memeras otak dulu untuk mengingatnya.
Akhirnya sukses juga melakukan blokir ATM Mandiri. Tinggal melakukan blokir untuk kartu-kartu yang lain.
Jadilah hari ini penuh dengan acara lapor ke kepolisian, telepoon ke Bank, Gerai Provider Fren dan segala tetek bengeknya masuk foto copy laporan ke Polisi.
Yang bikin suasana jadi meriah adalah hilangnya nomor ponsel Kak Bimo yang hari ini harus mengisi acara di Islamic Centre bekasi.
Sebuah tajuk acara "Ceria Bersama Anak-anak" digelar oleh Komunitas Tangan Di Atas (TDA) Bekasi dengan mendatangkan Pendongeng Sejuta Anak, Kak Bimo dan yang menarik adalah tidak ada yang tahu nomor ponsel kak Bimo, sementara itu kak Bimo juga tidak melihat statusku di FB kalau nomor ponsel istriku tidak bisa dihubungi karena dicopet orang.
Alhasil, perlu bantuan dari anak-anakku yang di Jogja untuk main ke rumah kak Bimo untuk menanyakan nomor Kak Bimo.
Fuih...!
Akhirnya, dapat juga SMS dari anak-anakku berisi nomor ponsel kak Bimo. Alhamdulillah. Terima kasih pada kedua anakku yang mau berjalan kaki di tengah panasnya cuaca menuju rumah Kak Bimo.
Puji syukur kupanjatkan ke pada Allah swt. Acara "Ceria bersama Anak-anak" sukses luar biasa berkat penampilan para pengisi acaranya yang memang pilihan.
Penampilan kak Bimo juga layak diacungi jempol. Hampir semua anak-anak tersihir oleh ucapan dan gerak-gerik kak Bimo yang sangat atraktif. Bahkan orang tua yang ikut hadir di acara itupun ikut terkekeh-kekeh melihat aksi kak Bimo di Panggung.
Selesai acara Lilo haerus pulang lagi ke Jogja, bersama kak Bimo dan istriku. Malam semakin larut ketika akhirnya aku tinggal sendirian lagi di Jakarta.
Tanggal 7 September 2010 insya Allah bisa mudik dan berkumpul bersama handai taulan di Jogja. Ada mudik Waskita, mudik Sipil, temu Cimart, Munas Katgama (versi internet) dan kopdar TDA Jogja menungguku. Belum lagi acara pertemuan dua keluarga besar kami (keluarga istriku dan keluargaku) di rumah Cungkuk.
Semoga aku bisa mengikuti semua acara itu dengan baik. Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)