Sabtu, Agustus 18, 2007

WORK PERMIT

IJIN KERJA K3

(by eshape)

(http://katgama.net/wordpress/?p=34)

Pada proyek konstruksi dikenal istilah Ijin Kerja. Ada dua macam ijin kerja, yang pertama disebut “request“ dan yang kedua disebut “work permit”.

Request diperlukan oleh kontraktor untuk meminta ijin bekerja pada Engineer Representative, misalnya untuk melaksanakan pekerjaan pengecoran di suatu lokasi atau beberapa lokasi sekaligus. Ijin kerja (request) bisa diberikan untuk satu atau beberapa macam pekerjaan yang diselesaikan dalam waktu satu hari atau beberapa hari, tergantung item pekerjaan yang diajukan.

Beberapa pekerjaan tidak memerlukan ijin kerja, dan beberapa pekerjaan memerlukan ijin kerja sebelum pekerjaan dimulai. Aturan perlu dan tidaknya ijin kerja biasanya ada dalam dokumen kontrak atau hasil kesepakatan dalam rapat koordinasi antara kontraktor dan Engineer representative.

Pekerjaan yang memerlukan ijin kerja dan ternyata dilaksanakan tanpa ijin kerja, maka biasanya bermasalah pada saat penagihan pembayarannya. Hal semacam ini biasanya merupakan pelajaran dasar pada pekerjaan konstruksi dan hampir semua personil yang terlibat pada pekerjaan konstruksi sangat memahaminya dan melaksanakannya dengan baik.

Ijin kerja yang kedua adalah ijin kerja K3 (work permit), yang biarpun sangat penting, jarang dilaksanakan dengan baik, bahkan beberapa bukti menunjukkan tidak dilaksanakan sama sekali.

Hampir semua kecelakaan kerja yang terjadi pada pekerjaan berbahaya, ditemukan tidak ada ijin kerja K3 yang dikeluarkan untuk pekerjaan tersebut.

Ijin Kerja K3 (work permit) dikeluarkan oleh Pengawas/Supervisor/Pelaksana kepada sub kontraktor/mandor atau pekerja yang akan memasuki/melaksanakan pekerjaan yang dianggap berbahaya. Bekerja di ketinggian, bekerja di ruang terbatas (sumur, plafond, gua, dsb), atau bekerja di lokasi yang berbahaya adalah sederetan jenis pekerjaan yang memerlukan ijin kerja K3 untuk memulai pekerjaan tersebut.

Pelaksana/pengawas/supervisor akan memberikan ijin kerja K3 setelah melakukan pemeriksaan terhadap hal-hal sebagai berikut :

  • Kesehatan Kondisi pekerja

  • Kelengkapan sarana dan prasarana kerja (termasuk kelengkapan APD sesuai yang disyaratkan pada kondisi pekerjaan yang akan dikerjakan)

  • Tidak ada kondisi berbahaya di lokasi pekerjaan (kondisi berbahaya yang ada di lokasi pekerjaan sudah dikontrol sehingga tingkat risikonya ada pada tingkat “dapat ditolererir”)
  • Hal-hal lain yang berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan kerja pada lokasi kerja tersebut.

Bila hasil pemeriksaan menunjukkan tidak adanya hal-hal yang dapat membahayakan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan tersebut, maka barulah ijin kerja K3 ditanda tangani dan pekerjaan dapat dimulai dengan pengawasan dari petugas khusus (biasanya petugas K3 atau pengawas pekerjaan di lokasi tersebut).

Ijin kerja K3 (work permit) sangat berbeda dengan ijin kerja melaksanakan pekerjaan (request), sehinga semua pekerja proyek harus benar-benar memahami perbedaan dan kegunaan dari masing-masing ijin kerja ini.

Ijin kerja K3 sangat spesifik dan hanya berlaku bila kondisi pekerjaan tidak berubah dan maksimal (biasanya) hanya berlaku selama satu hari. Bila kondisi lingkungan pekerjaan berubah (ada hujan, ganti shift, dll), maka ijin kerja harus diperiksa kembali terhadap kondisi saat ini. Ijin kerja K3 yang lama bisa diganti dengan yang baru atau bila perubahan lingkungan dianggap tidak berpengaruh signifikan terhadap keselamatan kerja, maka ijin kerja dapat dipergunakan lagi.

Telah banyak bukti bahwa tidak adanya ijin kerja K3 telah menyebabkan terjadinya banyak kecelakaan kerja, sehingga sudah saatnya kita peduli dengan ijin kerja K3 saat melakukan pekerjaan berbahaya. SDM adalah aset paling berharga dalam suatu perusahaan, dan sudah layak bila aset yang berharga ini dilindungi dengan cara yang baik secara memadai.

Mari kita budayakan K3 dalam kehidupan sehari-hari kita, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Salam K3.

-eshape-

2 Responses to “ Ijin Kerja K3 (Work Permit) ”

1. # 1 nurcahya_anung Says:
August 16th, 2007 at 11:48 pm e

Alasan kontraktor malas menetapkan K3 secara penuh biasanya adalah karena alasan efesiensi, kan Mas Eshape?

Bisa nggak, tolong Mas menunjukkan bukti bahwa kalo kita menerapkan K3 di proyek kita, maka itu adalah sebuah investasi dan bukan semata cost.

Soalnya, Manajemen kami masih setengah hati dalam menerapkan K3: Melaksanakan bukan karena tahu manfaatnya, tetapi sekadar mentaati peraturan2 berikut:

1. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3. Undang-undang No. 28 Tahun 2003 tentang Bangunan Gedung
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 02/Men/1992
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 04/Men/1995
6. Keputusan Direktur Jendral Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan No. Kep 20/DJPPK/2004 tentang Sertifikasi Kompetensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bidang Konstruksi Bangunan,
7. Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Tenaga Kerja dan Menteri PU No. KEP.174/MEN/86 dan No. 104/KPTS/1986 tentang K3 pada Tempat Kegiatan Konstruksi.
8. etc…


E-mail : anung_pnugroho@yahoo.comURL : http://www.friendster.com/nurcahya

# 2 eshape Says:
August 17th, 2007 at 4:47 am e

Kalau kita makan dan kemudian kenyang, maka itu adalah suatu hal yang lumrah. Kalau salah makan dan kemudian tidak kenyang tapi malah sakit itu juga lumrah.

Artinya kalau njalankan K3 kemudian tidak ada kecelakaan kerja, maka itu adalah sesuatu yang lumrah.

Namanya saja menjalankan aturan, jadi hasilnya ya jelas.

Demikian juga kalau njalankan aturan tetapi gak tahu benar apa yang dijalankan, maka ibarat salah makan, jadi biar kenyang makan tetapi karena yang dimakan tidak bener hasilnya malah keracunan.

Sudah jalankan K3 tetapi yang terjadi adalah membengkaknya biaya dan hasilnya nol besar (kecelakaan kerja tetep saja terjadi), artinya cara njalankannya tidak bener, tidak “kaffah”, sehingga K3 terus diiedntikkan dengan APD.

Asal sudah pakai APD berarti sudah njalankan K3, padahal APD adalah alat kontrol risiko yang paling buncit. Bila kita sudah tidak mampu mengontrol risiko yang ada, maka jalan terakhir adalah penggunaan APD.

K3 ekselen adalah K3 yang didambakan oleh semua pihak, baik pemilik perusahaan, karyawan maupun komunitas di sekitar kita.

K3 ekselen artinya, K3 yang dijalankan secara “kaffah”.

Dengan K3 ekselen, maka didapat hal-hal sebagai berikut :

  • Semua alat produksi dalam kondisi laik pakai, sehingga pekerjaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Tidak banyak (atau tidak ada) waktu terbuang untuk mengurusi kerusakan alat, hasil kerja bermutu (menekan rework), pekerjaan juga dapat dilaksanakan dengan aman (tidak terganggu oleh perbaikan alat), sehingga pekerja merasa nyaman dan meningkatkan kinerja SDM maupun perusahaan.
  • Kecelakaan kerja dapat ditekan seminimal mungkin (dengan adanya inspeksi K3 yang kontinyu), sehingga pekerja merasa aman dalam bekerja, dan selalu dalam kondisi siap bekerja (karena yang tidak siap bekerja tidak diijinkan bekerja, baik karena ngantuk, sakit atau dalam kondisi yang tidak memadai untuk bekerja).
  • SDM merasa dihargai (dimanusiakan), sehingga “workforce engagement” makin meningkat. Workforce akan merasa terikat secara emosional dan akan terlibat secara aktif untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Budaya perusahaan akan terbentuk dan bila terus di”maintain” dengan baik akan meningkatkan gairah bekerja yang luar biasa.

Akhirnya, yang penting memang kepedulian dari pemimpin senior dalam perusahaan.
K3 ekselen tidak akan berjalan baik bila pemimpin seniornya rajin mengumandangkan komitment tentang K3 tetapi lupa “involved”.

Begitu dulu mas….

Salam K3

-eshape-