Selasa, September 07, 2010

Jadi Imam Mesjid

Mendekati hari "H" Lebaran, maka masjid makin sepi saja. Kemarin malam hanya ada beberapa orang yang hadir di Masjid Hutama Karya. Satu deret jamaah saja tidak penuh, banyak jamaah yang hari itu tidak bisa datang ke masjid.

Hari ini, kulihat jamaah Isya dan Tarwikh cukup banyak. Aku sedikit tersenyum, alhamdulillah, berarti kemarin malam ada yang berhalangan sehingga masjid jadi sepi. Hari ini terbukti masih banyak yang hadir sebagai jamaah setia masjid Hutama Karya ini.

Setiap malam aku memang sering sholat jamaah di masjid ini dibanding sholat jamaah di masjid Waskita. Soalnya di masjid Waskita lebih seru kalau siang hari. Jamaahnya padat dan sebagian besar tetap berada di Masjid begitu usai sholat, bukan untuk tidur tapi untuk mendengarkan cerita ustadz tentang segala hal yang perlu dikaji dari Al Quran dan Hadits.



Malam ini begitu iqomah dikumandangkan, aku langsung berdiri seperti biasa, tetapi ternyata beberapa jamaah mendorongku untuk maju terus.

"Astaghfirullah", kataku dalam hati. Ternyata dari begitu banyak jamaah ini, wajah imam ataupun pendamping imam yang kukenal biasanya duduk di barisan paling depan ternyata tidak ada terlihat satupun.

"Ayo pak, sekali-kali jadi imam di sini", kata beberapa orang sambil mendorong pelan tubuhku.

Tanpa terasa aku sudah sampai di deretan terdepan di sajadah imam masjid. Ya sudah, bismillah, kumulai tugasku sebagai imam yang pertama kali di masjid ini.

Pikiranku tiba-tiba kembali ke dua puluh tiga puluh tahun lalu, saat aku masih aktif di masjid Perumnas Condong catur. Dunia ini seperti berputar kembali lagi ke peristiwa yang kualami dulu.

"Astaghfirullah", kembali aku berucap. Kenapa saat jadi imam pikiranku bisa multitasking kemana-mana ya, bukankah ini tanggung jawab yang besar bagiku. Apa jadinya kalau aku salah dalam memimpin jamaah di masjid ini?

Kucoba singkirkan beberapa gangguan pikiran multitasking ini. Meski sulit, akhirnya aku berhasil menyelesaikan tugas sebagai imam sholat Isya, Tarwikh dan Witir.

"Alhamdulillah"

Entah kenapa aku selalu merasa sangat puas setiap kali sholat Tarwikh dengan model 4-4-3 bukan 2-2-2-2-2-1. Bukan karena aku merasa metode ini yang paling benar atau yang lain tidak benar, tapi kenangan betapa nyamannya sholat tarwikh waktu kecil selalu muncul setiap aku sholat dengan model 4-4-3.

Aku tawarkan dulu model sholat ini pada para jamaah sebelum aku mulai mengangkat takbir. Beberapa jamaah mengangguk dan salah satu jamaah malah bilang, "kayak MU pak".

Aku yang kurang dengar dengan kalimat itu minta komentar itu agar diulangi lagi dan aku terpaksa jadi ikut tersenyum.

"Ada-ada saja bapak ini, mau sholat kok malah cerita MU"

Fenomena makin sedikit jamaah sholat di suatu masjid adalah fenomena yang hampir terjadi di setiap masjid. Di hari terakhir Ramadhan, kadang hanya ada tiga orang jamaah masjid dan ketiga-tiganya adalah panitia Zakat Fitrah.

Kita memang sering lupa akan esensi Ramdhan, seperti juga kita sering lupa esensi acara Buka Bersama. Acara yang seharusnya bernuansa religi itu lebih sering jadi acara mengumbar nafsu saja. Lebaran tidak ditangisi karena berpisah dengan Ramadhan tapi justru dirayakan karena baru terima THR.

Acara Buka bersama juga sering tidak dilanjutkan dengan sholat berjamaah tarwikh, bahkan lokasi buka bersama kadang-kadang mencari tempat sholatnya saja susah.

Aku ajak diriku sendiri untuk selalu ingat Allah dimanapun berada. Semoga Allah menunjukkan yang benar adalah yang benar dan aku diberi kemudahan untuk melaksanakan kebenaran itu.
Amin.

Salam Sehati

Tidak ada komentar: