Rabu, Januari 28, 2009

Perempuan Berkalung Sorban

Setelah tertunda-tunda karena alasan yang tidak jelas, akhirnya aku sukses mengantar istri nonton Perempuan Berkalung Sorban. Sebuah tontonan “wajib” bagi kaum wanita dan tontonan yang membuat laki-laki jadi merasa risih.

Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan sehari-hari di pesantren, dalam film itu dibuat secara ekstrem, sehingga seolah-olah wanita itu memang tempatnya di bawah ketiak laki-laki.

Aku sih belum pernah masuk pesantren, sehingga tidak tahu, apakah adegan dalam film itu benar-benar menggambarkan pesantren yang ada di Jombang atau hanya rekayasa film saja, sehingga menimbulkan kesan dominannya laki-laki atas wanita.

Nisa, sang gadis yang doyan naik kuda sambil berkalung sorban digambarkan sebagai gadis pemberontak yang ingin duduk sama tinggi dengan laki-laki. Kalau laki-laki boleh naik kuda, kenapa wanita tidak?

Hanya seorang laki-laki di lingkungan pesantren yang bisa memahami hati Nisa, dialah Lik Khudori yang digambarkan sebagai kerabat jauh Nisa. Selisih umur yang jauh dan kekerabatan inilah yang membuat Lik Khudori sulit mengungkapkan cintanya pada Nisa.

Apalagi ayah Nisa, seorang Kiai pemilik pesantren, sangat mendambakan Nisa menikah dengan lelaki anak Kiai dan bukan lelaki biasa-biasa saja.

Hal ini pulalah yang makin membuat Lik Khudori tidak bisa bertindak apa-apa. Dia tahu, cintanya pasti disambut Nisa, tapi tidak akan pernah disambut oleh ayah Nisa.

Sikap diam inilah yang makin membuat Nisa seperti layang-layang putus dan akhirnya harus menurut perintah ayahnya untuk menikah dengan lelaki pilihan ayahnya, seorang anak Kiai dari pesantren lain.

Janji ayah Nisa untuk mengijinkan Nisa sekolah setelah menikah ternyata hanya menjadi angin lalu saja. Nisa menjadi budak suaminya dan tidak pernah punya kesempatan untuk sekolah.

Cerita makin seru ketika suami Nisa ternyata menikah lagi dan makin menelantarkan Nisa. Rasanya sudah habis kesabaran Nisa, tetapi nasib belum berpihak padanya. Sampai akhirnya Nisa bertemu lagi dengan Lik Khudori yang sudah lulus dari Kairo.

Api cinta yang memang tidak pernah padam itu kembali membara, bahkan demikian membaranya sampai Nisa rela dizinahi oleh Lik Khudori. Tentu Lik Khudori tak mau melakukan perbuatan itu.

Sayang pertemuan dua insan di tempat yang sunyi itu membuat orang jadi berpikiran buruk. Apalagi hukum orang berzina adalah dilempari dengan batu, maka dijalankanlah hukum itu atas mereka berdua.

Kisah semakin seru dan semakin menegangkan, sehingga harus nonton sendiri di bioskop. Gak seru kalau cuma mbaca di blog ini.

Bagi yang pernah melihat film AAC, maka film ini dibuat lebih berwarna dan membumi, sehingga lebih enak ditonton, meskipun sebenarnya kata “sorban” dalam film ini lebih terkesan sebagai “tempelan” saja.

Mungkin seperti buku Andrea Hirata yang berjudul Maryamah Karpov, yang tidak bicara banyak di dalam bukunya. Kalau suka laskar pelangi, maka pasti suka juga dengan film ini.

Lucunya, atau ironisnya, film yang bertemakan Islam ini diputar pas jam nanggung, maksudnya masuk sebelum asar dan selesai sesudah asar, atau masuk sebelum maghrib dan selesai setelah maghrib.

Jadi gimana caranya mereka menjalankan sholat asar atau maghrib sambil nonton film?

Foto-foto yang dimuat dalam iklan di studio 21 juga menampilkan Revalina tanpa jilbab. Hmm .... jauh beda dengan penampilan Reva sebagai Nisa di film itu.

Aku lebih suka Reva pakai jilbab dibanding nggak pakai jilbab.

Kalau anda?
Pilih mana?

update 9 Peb 2009 :

tadi malem lihat orang berkomentar tentang film ini. sebuah komentar yang sangat bagus dan disampaikan dengan sangat menggebu-nggebu [sampai sang pewawancara kebingungan njawabnya, soalnya cerita tentang sorban tapi sampai ke Gaza]

sayangnya yang berkomentar ini belum nonton filmnya, jadi bingung tuh pewawancaranya

kalau komentar sutradaranya begini,
"film ini bercerita antara lain tentang seorang anak yang suka naik kuda [seperti pahlawan Islam jaman dulu], tapi orang tuanya tidak setuju, titik"

"tapi kebetulan orang tuanya adalah pemimpin pesantren, jadi penafsiranpun jadi lain, seolah-olah Islam melarang orang naik kuda"

di radio Dakta pagi ini,
juga ada yang komentar panjang lebar tentang film ini, sayangnya dia hanya mbaca resensi orang lain tentang film ini dan belum nonton filmnya



37 komentar:

Senoaji mengatakan...

setuju nagabonar jadi dua... yang lain, emang ada yang lain??? kayaknya film produksi indonesia baru itu dehhh wkwkwkwkwkkwkwkwkwk...

Syamsul Alam mengatakan...

heuheuheue, bagusan novelnya daripada laskar pelangi di bioskop. Meski yang liat banyak yg nangis, tapi bagusan yg di novel!

Hm, film ini aku ga suka, karena sedikit banyak njelek2in nama Islam.....

Emang manusia wajar berbuat khilaf, tapi film ini.....ah..... pokoknya ga suka aku.. huehueheue, liat trailernya aja eneg......

reva emang sejatinya ga terlalu baik orangnya.... hanya di film ini dia pake kerudung....

Eko Eshape mengatakan...

Makasih komentarnya mas Senoaji dan mas Syamsul Alam

Bener tuh, rasanya Islam jadi ekstreem banget di film ini, itu makanya aku nulis bahwa aku gak tahu tentang pesantren, sehingga apa benar Islam di pesantren se"ekstreem" itu aku benar2 gak tahu.

Kalau bagi istriku sih,
wah komentarnya luar biasa tuh
sampai pingin ngajak nonton lagi

he...he...he...

salam

www.katobengke.com mengatakan...

wah seru juga film ini.........
walau ceritanya masalah keluarga terutama masalah perempuan namun ada juga kisah lucunya yaitu nama pemainnya.................................

Ikhsan Abu Disa mengatakan...

reva memang lebih cakep pake Jilbab

Roizzz mengatakan...

Wah bagiku film indonesia yang sifatnya mendidik seperti layaknya laskar pelangi dan mungkin wanita berkalung sorban itu. Pokoknya maju trus dunia perfilman di indo!

Salam kenal yah!

Anonim mengatakan...

kalo liat film dari novel ini mengandung banyak pembodohan yg tercover seakan-akan sebagai pencerahan dan kebebasan, inti yg paling bener2 tertangkap adalah penggambaran kekejaman syariat Islam terhadap wanita,yg jelas ini film LIBERAL bgt, baru faham kalo maksudnya perempuan berkalung sorban itu maksudnya..kalo perempuan itu dibelenggu sama syariat Islam dengan simbol sorban yg harus akhirnya dilepasin di akhir film...gak skalian aja dilepasin tuh jilbabnya, kalo dibilang menyinggung pesantren tradisional juga engga sih karena keliatan bgt penulisnnya cuman pengen nyinggung negara yg nerapin syariat Islam tapi dgn gambaran laen...yg diambil contohnya yg pesantren yg seakan2 tradisional ala jawa timuran...

point2 pelecehan seakan2 syariat dan ajaran Islam itu kejam jelas banget...seperti peristiwa rajam, padahal ga ada tuh di Islam org tiba2 lgs dihukum rajam kayak gitu..tanpa saksi yg banyak atau pengakuan orang itu dan bukti2 yg jelas..serta org itu emang udah menikah.

peristiwa buku2 yg dibakar..ya wajar lah kalo tuh buku dibakar..anak pesantren disuruh baca novel2 cinta atau novel liberal lainnya...bacanya juga lagi belajar..ga usah deh di pesantren di sekolahan umum aja kalo anak murid lagi belajar trus malah baca buku yg laen juga disita bukunya sama sekolah....lagian buku2 itu sesuai usiannya lah , anak kecil disuruh baca pramudya ananta toer...apalagi di pesantren..yg dia seharusnya belajar agamanya lebih banyak..masa keluar pesantren ntar cuman faseh ngarang cerita2 ditanyain dalil atau lainnya ga faham..gara2 kebanyakan baca novel.

ngegambarin seakan2 guru2 pesantren (pelaksana syariat Islamlah) itu kejam galak2 dikit ngomong haram sana sini, nt masuk deh sono ke pesantren yang banyak malah ustadz2nya kalem2 malah murid2nya bandel2 ga ketulungan, kenapa?? karena banyak orang kalo anaknya bandel baru dimasukin ke pesantren...HASILNYA para penonton bioskop yg mau masukin anaknnya ke pesantren jadi takut deh...

masih banyak lagi kalo disebutin disini cara2 gak tepat dari film yg diadatasi dari novel ini, yg jelas nuansa liberal dan latar belakang penulis novel dari film ini keliatan banget, yah wajarlah dari mesir...yg mungkin sekarang sudah lebih liberal dari indonesia

cahaya senja mengatakan...

hehehehe....akhirnya rasa penasarnku sama film "perempuan berkalung sorban" sdh terobati...
ehm...filmnya cukup bagus c....tp.....aku rada kuciwa ....film ini terkesan menlintir nilai2 islam dalam menempatkan posisi seorang wanita dalam islam,ntah krn ad salah penafsiran ayat atau gmn ya....jd...ada kekhawatiran orang bisa slh tafsir setelah nonton ini...
mgkin...mmg dalam islam wanita terkesan memiliki kebebasan yang kurang...tapi g seperti yang disajikan di film ini juga kok..y mgkin kbtlan ponpes aj..ponpes yang ter_espos membrikan pendidikn yang terkesan kolot n saklek...tp g semuanya seperti itu kok...
mgkn akn lebih baek lg,,,kalau ad penjelasan lbh detail kesetaraan yang seperti apkah yang perlu diberikan kpd wanita..agar tidak terjadi slah tefsir n...jgn sampai akhirnya wanita keluar dari kodratnya....liberal boleh tapi tetap ad batasanya..

Anonim mengatakan...

Pakdhe Eko, tulisan Pakdhe masuk iklan film ini di Kompas hari ini tuh,...

***
Kalau saya sendiri, membaca beberapa resensi yang menyatakan bahwa sorbannya hanya tempelan, kok jadi pikir2 utk melihat film ini ya?

Anonim mengatakan...

satu lagi saya tambahkan tentang penyelewengan nilai-nilai islam pada film ini, yaitu bahwa wanita digambarkan tidak boleh naik kuda...

ada yang bisa memberikan hadist atau qu'ran nya tentang masalah ini????!!!!

setau saya tidak ada larangan bahwa wanita dalam islam, tidak diperbolehkan menunggangi kuda!!!

berhati-hatilah dengan cara-cara orang kafir yang mencoba untuk memiringkan ajaran-ajaran islam.

Anonim mengatakan...

emang ga ada kale dalam al quran dan hadist tenatng hukum nak kuda bagi perempuan..dan di film tu juga hanya dialognya tokoh kyai hanan yang merupakan pendapat pribadinya..makanya nonton yang bener..ga usah parno gt deh sampe sebuah film akan memiringkan ajaran2 islam,kita orang islam punya akal dan tdak akan luntur keimanan ini hanya oleh sebuah film..jad ga usah parno ya mas nonton untuk edua kali biar dapat pencerahan

Eko Eshape mengatakan...

Film ini memang kontroversial, kayak AAC yang lari dari novelnya.

Diperluka kecermatan untuk membedakan antara Islam dalam arti yang sebenarnya dan Islam dalam film ini yang dipakai sebagai warna filmnya.

Banyak yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar [menurut saya], tapi mungkin saja ada yang berpendapat bahwa hal-hal yang dipampangkan dalam film itu pernah terjadi.

Tugas kita memang menjernihkan masalah ini pada anak-anak kita ataupun teman-teman kita yang menonton film ini.

Kita ambil hikmah yang ada dari film ini. Seperti yang sering kita dengar, dalam sebuah keburukan, pasti ada setitik kebaikan yang bisa dikembangkan, begitu juga dalam sebuah kebaikan kadang terselip sebuah keburukan yang bisa berkembang kalau tidak dikelola dengan baik.

Insya Allah,
kita mampu menunjukkan bahwa Islam yang benar bukan seperti yang dilakukan oleh beberapa aktor film itu.

Mari kita tunjukkan diri kita sebagai seorang muslim yang baik, bijak dan sabar.

"Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu"

Anonim mengatakan...

ini hanya sebuah film kawan ..........

kalau memang islam gak seprti itu kenapa kita meski heboh merespon film tersebut ...janganlah kita terlalu gumunan dengan filmsemacam itu ..toh yang bisa akses film itu juga orang2 perkotaan yang memang punya dasar beragama masing2, filmkan juga cuma ide segar dari penulis dan sutradaranya ....saya sepakat dengan film ini karena mengangkat realitas islam didesa dan dipondok pesantren (sebagian tidak semuanya) ......selamat deh buat mas hanung semoga bisa menghasilkan film2 yang lebih menggigit lagi ....salam islam progresif

Eko Eshape mengatakan...

Mas Putra sangat bijaksana

memang ini hanya film, dan mungkin memang terjadi di suatu tempat, tapi tidak mewakili Islam secara keseluruhan,

jadi marilah ini kita angap ini sebagai sebuah film saja, bukan sebuah "pengajian" tentang agama Islam,

Kebetulan agama Islam menjadi warna dari film, itu, tapi jangan kita jadikan film sebagai panutan dalam beragama

Film silahkan ditonton, tapi kalau sudah masalah aqidah, ibadah dll, mari kita kembali ke Al Quran dan Al Hadits

Komentarku ternyata dipotong dan dipakai sebagai iklan di film itu,
aku nggak setuju, tapi mau ngapain

biarkan saja mereka melakukannya
pembaca blog dan penonton film kita sudah cerdas kok, gak mempan diintimidasi lagi

mari kita jadikan film itu sebagai intropeksi diri saja, siapa tahu masih ada di diri kita yang masih kurang

Salam

Anonim mengatakan...

Kalau soal kontroversial kan soal penafsiran saja. Tiap penonton kan bisa beda-beda.

Justru Perempuan Berkalung Sorban memberikan pencerahan bagaimana seharusnya berumah tangga yang baik. Scene Khudori-Anissa di rumah mereka menggambarkan hal itu. Misalnya Suami juga bisa memasak, menyediakan minuman buat istrinya. Bukannya suami apa-apa harus dilayani seperti yang digambarkan tokoh Syamsuddin. Sebaliknya istri juga diberikan ruang untuk berkreatifitas, menulis, kuliah, dan ikut mencari uang. Apalagi di zaman krisis ekonomi begini nggak bisa hanya laki-laki mencari uang.

Perempuan Berkalung Sorban memberikan contoh bagaimana pergaulan yang baik antara suami dan istri. Nggak bisa seenaknya suami memaksa istri untuk berhubungan, kalau istrinya stres, tidak mood, kesehatan terganggu. Khudori dan Anissa mencontohkan demikian.

Tentu gambaran pesantren dalam film itu tidak mewakili kenyataan sesungguhnya atau rata-rata pesantren seperti itu. Tetapi bukannya tidak mungkin terjadi. Saya juga nggak setuju kalau film itu menolak syariat Islam mentah-mentah. Di scene Anissa mengatakan bahwa surga ada di telapak kaki kita pada santriwati yang lain pengakuan bahwa apa yang ia gagas tetap masih dalam koridor agama.

Memangnya santri nggak boleh baca buku di luar agama? Bukankah jalan keluarnya cukup bagus tidak sembunyi-sembunyi baca buku di kelas tetapi diberi ruang, misalnya perpustakaan. Seorang santri tidak hanya pandai bicara agama tetapi juga punya pengetahuan luas. Apalagi di era global ini.

Penulis novel ini atau film ini hanya mengkritisi penafsiran terhadap Islam bukan Islam itu sendiri. Soal Larangan naik kuda itu justru salah satu yang dikritisi karena memang nggak ada larangan dalam Islam, itu hanya penafsiran saja.

Yang saya kritik dari film itu seperti halnya Ayat-ayat Cinta masih saja ada nuansa Bollywood-nya. Misalnya, scene Anissa (seperti disebut di atas) bicara di depan santri-santri dan ksaudara-saudaranya, ibunya itu banyak ditemui dalam film India, seperti halnya adegan pengadilan di Ayat-ayat Cinta.

Salam


Irvan

Eko Eshape mengatakan...

Makasih mas Irvan,
tambahan komentar yang memberikan pencerahan buat pembacanya.

Makasih sekali lagi.

Salam

Anonim mengatakan...

Beneer..banget mas Irvan..jadi penasaran pengen nonton niy film..
Naga Bonar and Laskar pelangi..? both are my favourit too..:)

Salam

Eko Eshape mengatakan...

Mbak Melvi,

menurutku Naga Bonar masih sebagai film terbaik Indonesia, begitu juga bagi anak-anakku

laskar Pelangi bagus juga tuh, sangat mendidik

Anonim mengatakan...

two thumb up for perempuan berkalung sorban..

Eko Eshape mengatakan...

Begitulah dunia ini
ada yang suka dan ada yang tidak suka

kita boleh memilih kok,
yang penting ada dasar pilihan kita
[sandarkan ke al Quran dan Al Hadits]

Salam

Anonim mengatakan...

Film ini dibuat untuk memberi persepsi buruk terhadap Islam dan mengusung ajaran2x anti agama. Jika melihat salah satu adegan ada buku pramudya ananta toer, seolah2 bukunya sbg jawaban atas kesengsaraan kaum wanita dibawah aturan Islam.

Dan juga salah satu dialog yg sring diucapkan ayah Annisa dalam film tersebut:

“Jelas Alquran dan Hadits mengharamkan perempuan keluar rumah sendiri tanpa muhrim, meski untuk belajar.”

Mana ada ayat Quran dan Hadits yg menyatakan itu? Jika ada silahkan tunjukkan.

Dari semua protes Annisa difilm itu, sang pembuat film dan penulis skenario sama skali tidak mengklarifikasi dengan memberi jawaban dari Islam, kecuali berdirinya perpustakaan yg didalamnya banyak buku bertema komunis. lagi-lagi, buku non Islami dijadikan jawaban masalah ketertindasan yg dihadirkan film ini...(inilah karya2 golongan spilis dan filsuf)

Saya meulis kritikan terhadap film ini jika tertarik silahkan ke:

http://rumahabi.info/mengkritisi-film-perempuan-berkalung-sorban.html

Eko Eshape mengatakan...

Makasih komentarnya mas Abi.

Sebuah komentar yang akan melengkapi blog ini. Pasti para pembaca blog akan makin tercerahkan oleh komentar mas Abi.

MEmang film ini hanyalah film tontonan, dan bukan tuntunan.

Jadi bagi yang ingin menonton film ini, berangkatlah dengan anggapan bahwa kita akan melihat suatu tontonan dan bukan tunutunan.

Tuntunan kita tetap adalah Al Quran dan Al Hadits.

Salam

Anonim mengatakan...

Liat iklannya tergoda..
LIat thrillernya penasaran
nonton filmnya kecewa .. pulangnya..sambil bonceng motor sambil misuh-misuh.. ternyata bangsa ini terlalu pandai mengekpose hal-hal buruk yang ada di pesantren, dan tidak mendidik blas... pesan agama tidak nyampe.. yang ada malah persepsi buruk pondok pesantren... ndak jauh beda dengan sinetron deh pokoknya...

Eko Eshape mengatakan...

beda antara film ini dengan sinetron adalah
1. perlu antri tiket sebelum nonton film ini
2. film ini disetel di bioskop, bukan di rumah
3. film ini tidak ada jeda iklannya

he...he...he...
ikut sedih nih,
mbak Toeti sudah mbayar tiket dan tidak terpuaskan oleh film ini

salam

Anonim mengatakan...

sebuah geliat perubahan yang tidak bisa dihentikan meski oleh waktu sekalipun, ketika detik skenario hidup berlari mengejar utaranya, annisa membuat kita sadar bahwa hidup itu pada dasarnya indah, indah ketika dosa-dosa kita direduksi oleh kezaliman makhluk ALLAH yang lain, indah ketika tangga keimanan begitu mudah dinaiki oleh airmata serah diri kita pada ALLAH, indah ketika sayap malaikat yang menaungi redupnya hati ternyata lebih dekat dari bahu sekalipun. INDAH KETIKA KEINDAHAN ITU DISYUKURI MELALUI KEINDAHAN HATI.

bijak memang bukan selalu diucapkan, tapi dilakukan, sama seperti cinta, bukan diterima tapi ditumbuhkan.

coba untuk berfikir lebih dalam menilai film ini, film ini akhirnya mengajarkan kita untuk berfikir, seperti apakah seharusnya seorang muslim yang baik...

betul??
AMRAN, Bandung

fizzicoholic mengatakan...

film perempuan berkalung sorban sangat bagus kuat dengan pesan moral menurut saya hanya orang yang berpikiran tertutup saja yang bilang film ini melecehkan kaum pesanten... maju terus mas hanung...

Eko Eshape mengatakan...

mas Amran dan mbak Fizzicoholic

makasih komentarnya
tentu sangat bermanfaat bagi tambahan pencerahan di blog ini

salam

Anonim mengatakan...

Jika nyimak rangkaian dua film sblmnya yg - maunya - dikemas dlm setting 'religius' yaitu "Ayat2 Cinta" (AAC) dan "Doa yg Mengancam", lalu "Perempuan Berkalung Sorban" (PBS), spt ada upaya Hanung utk berubah haluan atau balik 'memberontak' (demi atau tanpa sensasi?) dg membuat film yg kontroversial.

Krn dua film sblmnya relatif tdk menimbulkan reaksi yg kontra di ranah publik. Seorang sutradara, produser, dsb mestinya paham dan mengantisipasi respon/reaksi thd karyanya saat dirilis ke publik.

Mungkin film PBS memang sengaja dimuati unsur kontroversial utk menarik perhatian publik agar film itu setidaknya 'dibicarakan' atau 'direken' publik.

Asumsi subyektifnya, mungkin Hanung frustrasi, 'cemburu', melihat sambutan publik yg begitu fenomenal thd film "Laskar Pelangi" dibanding film AAC (yg mutunya emg jeblok), dan sbg 'pelarian' atau 'kompensasi' dari rasa kejengkelannya, dibuatlah film kontroversial yakni PBS. Ibaratnya, Hanung spt anak kecil yg sdg merajuk, ngambek, bete, krn tdk ada yg memperhatikan film-filmnya.

Mungkin krn hanya ada dua pilihan agar direken publik yaitu bikin film bagus (spt "Laskar Pelangi") atau bikin film jelek tapi kontroversial. Tapi krn pilihan pertama terlalu sulit utk Hanung maka dibikinlah film jelek bin kontroversial yg emang relatif lbh mudah tanpa harus mempertimbangkan teknik sinematografi, estetika, relevansi, intelektual, dsb. :D

Dan lagi ternyata film PBS diproduksi oleh Starvision milik Chand Parwez dan Raam Punjabi yg dikenal sbg 'mafia' sinetron di negri ini yg kerjanya memproduksi film/sinetron sampah.

Blm lg jika diskusinya menyangkut paradigma, ideologi, yg membingkai film PBS yg agaknya sarat dg visi klasik kaum feminis yg memang terkenal lebay dlm soal emansipasi dan menggugat budaya patriarki. Meski para feminis lebay tsb lbh sering kebablasan dan keblinger krn jika emansipasi benar2 murni dipraktekkan akan jadi bumerang bagi kaum wanita dan para feminis itu sendiri. Bahkan sangat mungkin kaum wanita akan balik mengutuk para feminis.

Apalagi jika mbahas kenaifan visi Hanung dlm upaya mengaplikasi simbol termasuk saat 'mencomot' karya sastra universal "Bumi Manusia" yg dlm PBS diposisikan sbg representasi komunisme. Sementara komunisme sendiri sdh lama habis.

Dari segi tema film PBS termasuk kesiangan dan garing. Bahkan Siti Musdah Mulia seorang aktivis perempuan yg 'membela' PBS, dlm suatu debat di TVONE 'keceplosan' bilang bhw PBS mestinya dibuat 20 th yg lalu. Secara implisit itu dpt diartikan bhw di era spt saat ini tema2 spt yg ada dlm PBS, apalagi mengkonfrontisir pesantren dan komunisme (dg cara2 yg dangkal pula) adalah sdh sangat kesiangan dan tdk relevan.

Tidak jelas apakah Hanung, pihak produser, juga si penulis novel, sblmnya melakukan survei data yg representatif thd pesantren2 di negri ini dan melakukan check and recheck di lapangan sblm 'mendiskreditkan' institusi pesantren sbg contoh kasus tempat berlangsungnya apa yg oleh aktivis feminisme dilabeli sbg budaya patriarki.

Mungkin pihak produser, juga Hanung, perlu belajar kursus membaca karya sastra, latihan menganalisis buku "Bumi Manusia" dulu.

:D

Anonim mengatakan...

itulah sebabnya bangsa INDONESIA yang katanya BABY GENIUS hingga saat ini blum juga bisa bangkit dari keterpurukan. kurang apa indonesia? dalam salah satu terbitan majalah TIME, dirilis sebuah cover yang unik, cover bergambar PULAU INDONESIA dan tulisan THINK. Indonesia memang perlu berfikir lebih, berfikir dalam apa? bukan berfikir bagaimana menjatuhkan/membuat orang lain terlihat buruk!!! malainkan berfikir bagaimana menghasilkan karya... sebagai makhluk yang dikaruniai volume otak dan kapasitas luar biasa, harusnya kita lebih mampu berfikir secara mendalam, bukan ada sedikit kontroversi malah menjadikannya sebuah batu loncatan yang NAIF. bersyukurlah kita ketika kerlingan film indonesia sudah mulai melirik dunia.

proses melahirkan film membutuhkan tapak panjang yang kalau kita fikirkan sendirian tidak akan pernah berhasil.

jadi saran saya bukan untuk menjatuhkan para PEMBERI COMMENT yang ga penting menurut saya, cobalah kta berfikir kembali sebelum kita memberi komentar, atau sesuatu yang belum tentu kita kuasasi...

karena sesekali, kita perlu merasa bahwa bangsa ini perlu perubahan, bukan dalam cemoohan atau gunjingan. melainkan perubahan pola berfikir dari PRIMITIF menuju MODERAT. itu PENTING...!!!!

Amran, Bandung

Eko Eshape mengatakan...

@Gentho
makasih ulasannya mas
makin lengkaplah pencerahan yang ada tentang film ini

di harian Tempo, Minggu 15 Pebruari 2009, juga diulas tentang sang penulis novel ini

mungkin kalau dibaca akan lebih melengkapi ulasan mas Gentho

di RCTI, jam 11.52, Minggu 15 Pebruari 2009, juga dibahas lagi ulasan dari seorang Kiai yang anti film itu

semua itu menjadi pembelajaran kita
bahwa hidup ini memang tidak hanya hitam putih saja
tapi ada juga yang abu-abu

salam

Eko Eshape mengatakan...

Mas Amran kayaknya sependapat dengan apa yang ditulis di koran tempo hari Minggu, 15 Pebruari 2009.

Disitu dijelaskan bahwa dalam film itu selalu ada tokoh antagonis dan juga protagonis, tanpa itu maka film ataupun novel akan jadi hambar

Bisa dibayangkan bahwa film akan bercerita tentang kebaikan saja atau akan bicara tentang keburukan saja.

Kalau seorang Kiai bicara tidak benar, misalnya tentang perempuan yang dilarang naik kuda, maka disitu sudah dijawab oleh seorang anak bahwa jaman dulupun [jaman Rasullualah SAW] perempuan sudah biasa naik kuda.

Pada dialog itu pak Kiai yang dimenangkan, tapi pada akhir cerita diceritakan pak Kiai sudah sepaham dengan anaknya. Artinya naik kuda itu boleh.

Film ini memang mengundang banyak penafsiran, dan Hanung juga bukan orang tanpa salah.

Adegan rajam yang tidak ada di novel, cukup mengundang tanya.

Tapi memang begitulah sebuah film, kita harus punya tuntunan untuk melihatnya, jangan anggap film itu sebagai tuntunan, tetap Al Quran dan AL Hadits sebagai tuntunan kita.


Makasih mas Amran.

Salam

Anonim mengatakan...

DARING ... HONEST ... YET RELIGIOUS !

Eko Eshape mengatakan...

@Reno

makasih komentar singkatnya
singkat tapi padat
[to the point]

salam

Anonim mengatakan...

Sama aja dg kisah nyata syekh puji yang dituangkan dlm sinetron Hareem. Jd sbnrnya yg salah bkn filmnya. Mgkn karakternya yg trlu realistis. Klo bs isi filmnya jgn pake konflik,datar aja isinya org soleh tanpa dosa. Pst gak diharamkan!

Eko Eshape mengatakan...

Hmm komentar yang bijak.

Makasih mas/mbak "anonim'


Salam

Anonim mengatakan...

yg aneh adalah masa orang pesantren ga tahu ilmu agama, kagak ada yg namanya dirajam tanpa pengadilan terlebih dahulu, dan proses-nya rumit, dengan berbagai syarat2 ketat hingga akhirnya diputuskan untuk dirajam.

Ini kok malah seenaknya langsung lempar batu, tanpa bukti yang jelas lagi, hanya prasangka.

Eko Eshape mengatakan...

@Aldohas

adegan itu tidak ada di novelnya
kayaknya sutradara membuat improvisasi untuk menggambarkan bahwa tidak ada manusia yang suci

hukum rajam sendiri
pasti semua muslim sudah jelas

makasih komentarnya mas
menambah pencerahan bagi yang belum ngerti

salam