Ada kebiasaanku setiap meninggalkkan hotel, yaitu berusaha untuk menulis "feed back" ke manajemen hotel. Awalnya, karena jengkel dengan pelayanan hotel aku nulis "masukan" itu, namun lama kelamaan tidak hanya kritikan yang kusampaikan, hal-hal yang baikpun kusampaikan dengan sejujur-jujurnya.
Pasti unsur subyektif muncul dalam komentarku. Apalagi kalau ketemu hotel yang tidak ada akses internetnya, masukanku pasti punya nuansa emosional dan unsur subyektifnya "kentara" banget.
Akses internet memang sudah menjadi persyaratan hotel [menurutku], sehingga hotel tanpa akses internet adalah hotel yang biasa-biasa saja. Bahkan hotel yang punya akses internetpun punya beberapa tingkatan.
Ada hotel yang memerlukan pembelian kartu internet, ada yang tetap free tetapi di beberapa lokasi saja. Ada juga yang free di semua lokasi.
Lalu hotel mana yang jadi pilihan terbaik jika akses internet dijadikan tolok ukur utama?
Hotel dengan akses internet yang "free", belum tentu jadi pilihan utama. Hotel itu hanya akan jadi pilihan utama, bila kita memang memanfaatkan akses internet hanya untuk pengisi waktu [just for fun], atau kita memang tidak menyediakan anggaran untuk internet.
Kelemahan hotel yang "free" akses internet adalah band with yang terseok-seok. Kadang-kadang sudah nyambung tiba-tiba putus dengan sendirinya. Saat kita telpon ke manajemen hotel, maka jawaban standard yang muncul.
"Iya pak, internetnya baru mati". Selesai urusan !
Kualitas akses yang lebih baik biasanya dipunyai oleh hotel yang hanya "free" akses di beberapa lokasi saja. Untuk akses dari kamar, maka ada harga tersendiri. Kadang diikutkan biaya telepon, bila aksesnya memakai "telkomnet instan" [dial up], atau memakai voucher khusus bila memanfaatkan jaringan.
Meski begitu, ada juga beberapa hotel yang saya tinggali menerapkan voucer mahal dengan akses internet yang lambat. Jadi setali tiga uang dengan free akses yang ditawarkan oleh beberapa hotel. Cilaka deh kalau ketemu hotel yang seperti ini.
Di Semarang, aku pernah mendapati hotel dekat simpang lima yang mempunyai akses free di beberapa lokasi, antara lain adalah di lobi dan ruang makan. Kebetulan aku dapet kamar di atas lobi, jadi ketika kehabisan voucer ternyata dapat terus melakukan akses internet dengan kecepatan memadai karena memanfaatkan pancaran dari wireless di lobi.
Untuk yang seperti ini, kucatat baik-baik, sehingga kalau nanti ke Semarang lagi sudah punya nomor kamar favorit.
Di Surabaya, pengalaman unik adalah ketika aku minta kamar yang punya akses internet dan ternyata kamar yang kuminta sudah penuh. Mereka memindahkan kamarku ke kamar "suite" dengan tarif tidak berubah, hanya karena namaku sering muncul dalam catatan pemberi masukan di hotel itu.
Memang aku selalu mencantumkan alamat imilku di "feed back" yang kusampaikan ke manajemen hotel. Ternyata mereka sangat menghargai masukanku dan beberapa kali aku mendapat ucapan terima kasih dari manajemen hotel. Ada juga yang mengirimkan ucapan ulang tahun segala [he...he..he...].
Sekarang sudah jamannya melakukan kritik membangun dan bukan jamannya lagi menganggap kritik sebagai angin lalu. Ada nilai yang sangat besar dalam setiap kritik yang sesederhana apapun. Kritik adalah awal menentukan langkah terobosan menuju ke jenjang yang lebih baik.
Seperti yang disampaikan Mario Teguh, saat kita menghadapi kesulitan dalam hidup dan kehidupan, maka sebenarnya kita sedang menemukan "short cut" untuk memperbaiki kualitas hidup kita. Lewati halangan yang menghadang dengan penyelesaian yang baik, maka kita telah menemukan satu langkah terobosan menuju ke taraf yang lebih baik.
Jadikan kritik sebagai landasan improvement dan jadikan akses internet sebagai "hamba" kita untuk memudahkan komunikasi kita, dan bukan sebagai "Tuhan" kita yang baru, karena kita terlalu larut dalam dunia "maya"-nya.
Yang perlu diingat, jangan sampai kritik kita punya semangat untuk menghancurkan. Buatlah kritik yang penuh dengan semangat membangun. Kritik yang bersifat kontra produktif akan membuat kita menjadi suka mengeluh dan bukan memberikan landasan untuk perbaikan tetapi justru akan menimbulkan perlawanan dari yang kita beri kritik.
Pikirkan lebih dalam isi kritik yang akan disampaikan, bila ada sisi emosional yang tidak terkontrol koreksilah lagi. Sampaikan kritik dengan santun, dan manfaat akan didapat oleh kedua belah pihak.
Insya ALlah. AMin.
Salam
1 komentar:
Cuman itu doang.mana caranya ? Kalau segitu mah gue juga bisa ...cuman nulis pengalaman apa susahnya.!
Posting Komentar