Ia berkelahi dengan cara yang nampaknya sama sekali tak teratur dan sekaligus untuk mengetahui sampai dimana keperkasaan lawannya.
Pemuda tampan itu, ketika melihat Mahesa Jenar masuk ke dalam kancah perkelahian, terpaksa menghentikan hitungannya dan berkata kepada Mahesa Jenar, Hai orang tolol, kau jangan bermain-main di situ. Menyingkirlah.
Mahesa Jenar pura-pura tak mendengar seruan itu. Dengan gerak yang bodoh ia menyerang terus bersama-sama ketujuh orang pengawal itu. Beberapa saat kemudian, kembali pemuda itu mengulangi seruannya, tetapi juga kali ini Mahesa Jenar tidak mempedulikannya. Ia berkelahi dengan gerak sekenanya saja. Bahkan ia menyerang pemuda itu dengan segenggam tanah yang dilemparkan ke mukanya, karena ia memang tidak bersenjata.
Akhirnya pemuda itu menjadi gusar. Bagus, kalau kau tak mau berhenti, aku akan melanjutkan hitunganku, lalu sesudah itu kalian akan mampus semua. Dan gadis itu akan aku bawa pulang tanpa seorang pun dapat menghalangi, kata pemuda itu.Mendengar teriakan pemuda tampan itu, gadis cantik yang menjadi sasarannya menjerit ngeri, tetapi suaranya hilang ditelan oleh kelebatan rimba.
Akhirnya si pemuda sampai juga pada hitungan yang ke 10. Sesudah itu ternyata ia benar-benar akan melakukan apa yang dikatakan. Secepat kilat ia maju menggempur lawannya. Tongkatnya berputaran cepat bukan main, seolah-olah berubah menjadi segulung awan hitam yang menakutkan. Mahesa Jenar melihat gelagat ini, tetapi ia masih saja bertempur tanpa aturan.
Pertempuran itu segera berubah menjadi semakin cepat dan dahsyat. Tongkat hitam itu melayang menyambar-nyambar tak henti-hentinya. Tetapi sampai sekian lama tak seorangpun yang dapat dikenainya.
Si pemuda sendiri kemudian menjadi heran, kenapa tongkatnya tak menyelesaikan pertempuran sebelum fajar. Menilik kepandaian ketujuh orang yang mengeroyoknya, ia sudah dapat memastikan bahwa sedikitnya empat diantaranya harus sudah binasa, apalagi si perantau tolol itu. Tetapi karena sampai sedemikian jauh ia masih belum mampu menjatuhkan seorang pun, Mahesa Jenar, yang dalam mata si pemuda merupakan orang tolol yang berani, sangat mengganggu perkelahian itu.
Sekali waktu ketika tongkatnya melayang ke arah tengkuk salah seorang lawannya, tiba-tiba perantau tolol itu melemparkan pasir ke arah mukanya, sehingga ia terpaksa memejamkan matanya. Dengan demikian maka calon korbannya itu sempat menghindarkan diri. Pada saat lain, ketika hampir saja tongkatnya berhasil menyodok leher, si pemuda tolol itu kakinya terantuk batu, sehingga jatuh tertelungkup menimpa lawan yang hampir binasa itu. Dengan demikian mereka jatuh bergulingan. Dan juga kali ini tongkatnya tak menemukan sasaran.
Si pemuda akhirnya marah kepada Mahesa Jenar. Hai orang tolol. Jangan berbuat gila di sini. Kalau kau tak mau lekas minggir, kaupun akan kubinasakan. Bahkan kaulah yang pertama-tama akan mengalami nasib jelek, teriaknya geram.Mendengar seruan itu, sadarlah Mahesa Jenar bahwa pemuda itu sudah benar-benar marah. Maka tidak sepantasnya lagi kalau ia bermain-main saja. Maka segera ia pun mempersiapkan diri untuk menyambut setiap serangan yang benar-benar akan dilancarkan kepadanya.
Sementara itu, terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan mereka semua. Tidak saja para pengawal dan mereka yang melakukan perjalanan, tetapi juga pemuda itu dan Mahesa Jenar. Tiba-tiba dalam suasana keributan pertempuran, diantara kesepian rimba itu, menggetarlah suara tertawa nyaring yang semakin lama terdengar semakin mengerikan.
Segera, semua yang mendengar suara itu mengenal, bahwa itulah suara maharaja yang kekuasaannya terbentang meliputi seluruh hutan Mentaok dan bagian-bagiannya. Ia adalah yang sangat ditakuti dengan namanya yang seram, Lawa Ijo.
............ source gambar
............ source cerita
7 komentar:
Wah jadi kepengen menelusuri hutan Mentaok....:))
Lokasi tepatnya dimana ya?
Mas Eshape, thanks sharing file Nagasasranya.....
Wak Radit,
nek gak salah, Danang Sutawijaya dulu babat alas Mentaok mendirikan
kampung yang namanya Pacethokan yang konon jadi mentaram.
Di ceritanya Mas Eshape tadi, kalau ndak salah Mahesa Jenar dari
Prambanan.. njuk Rara Wilis mau ke Pliridan mencari simbahe. Gak tahu
apakah yang dimaksud pliridan itu ada di kulonprogo.
Ooh jadi alase saiki wis gundul dadi kota tho?
Jadi kesimpulannya gimana Mas?
Apakah Komo itu = Lawa Ijo?
salam,
Apa betul cerita " Api Di Bukit Menoreh " akhirnya tidak tamat , karena pengarangnya keburu wafat ?
Putrinya Pak SH Mintardjo kuliah di JTS-UGM angkatan berapa ?
Mas NWS,
terus terang aku gak ngerti masalah ini
[timbang njawab ngawur]
salam
alas mentaok kalo gak salah di daerah banguntapan, bantul..
sekarang jadi JEC...
Posting Komentar