Sepergiku dari Yogya, 1 Januari 1989, aku sudah bertekad untuk tidak pacaran lagi. Saat itu rasanya pacaran lebih menjauhkan diriku dari kehidupan yang tenteram dan nyaman. Pacaran membuatku sering menjadikan pacarku lebih penting dibanding Dzat Yang maha Tinggi.
Aku lebih sering membayangkan pacarku atau berbuat sesuatu yang lebih menomor satukan pacarku dibanding Dia, Sang Maha Tinggi.
Begitulah hari-hariku di Aceh. Bekerja tak kenal henti dan tak kenal lelah. Sampai akhirnya ada juga cewek yang sangat menarik perhatianku. Dia adalah anak nomor dua dari seorang temen baruku.
Janji-janjiku untuk tidak pacaran kayaknya jadi terlupakan. Aku sering main ke rumah temen baruku itu, untuk bersilaturahmi, sambil melirik anaknya. Rasanya temenku juga paham arah kedatanganku, apalagi dia sangat seneng berkenalan denganku.
Bagi temenku, aku adalah seorang lelaki yang mudah diajak bergaul, enak diajak ngebrik dan karena dia juga adalah salah satu pelangganku (Owner dari PU), maka hubungan kami jadi sangat akrab. Sayang, pada kondisi yang sangat mendukung ini, cewek yang kulirik itu sama sekali nggak ngrespon aku sedikitpun. Aku jadi kayak “setengah gila” dibuatnya (You make me Crazy deh !:-). Akupun merasakan betapa tidak enaknya bertepuk sebelah tangan.
Hampir tiga tahun kulalui dengan kehidupan yang serba tidak jelas untuk masalah pacaran. Namun, selama itu pula aku rajin berkomunikasi dengan seorang cewek di Yogya yang selalu menyebut dirinya denga Adinda.
Akupun jadi merasa sebagai kakandanya. Kami banyak curhat untuk segala macam masalah. Komunikasi itu terus terjalin dengan “intens”, sampai-samapai saat aku pulang ke Yogya, selalu kusempatkan untuk mendatangi rumahnya sekedar untuk menyambung komunikasi.
Satu hal yang selalu dilakukannya setiap ketemu aku adalah menjodohkan aku dengan sahabatnya. Satu demi satu sahabatnya “ditawarkan” kepadaku. Bagaimana aku bisa menerimanya, aku gak kenal mereka dan mereka kuyakin juga nggak kenal aku. Jadi bagaimana bisa ketemu.
Aku ini tipe orang yang harus kenal dulu baru bisa bicara dari hati ke hati. Akhirnya, akupun mengirim surat kepadanya agar dia tidak menjodohkan aku lagi.
Tentu saja aku tidak menulis seperti itu, kutulis saja agar daripada dia capek nyari jodoh buatku, mbok dia saja yang jadi jodoh buatku.
Ternyata jawabanku manjur banget. Rupanya dia kaget dengan tulisanku itu, sehingga dia jadi berpikir keras untuk menjawab suratku.
Akupun tiba-tiba merasa bahwa seharusnya hal ini kulakukan sejak dulu saja. Toch dia cewek yang baik cantik dan beriman. Kucari kekurangannya dan ternyata gak kudapat, jadi ketika dia menjawab suratku dengan nada berpikir-pikir, aku segera pastikan untuk menyelesaikan hal ini secara tuntas.
Kulamar dia melalui surat dan akhirnya kuterima jawaban yang kuharapkan melalui surat. Abis membaca surat kepastian jawaban dari dia, baru aku sadar bahwa aku gak punya cukup duit untuk pergi ke yogya dan menikahinya.
Tabunganku kosong melompong, sementara gajiku banyak dipotong disana-sini. Waktu itu aku memang banyak hutang deh (emangnya sekarang nggak ya?!-)
Alhamdulillah, pak Kiming dan pak Adil banyak menolongku untuk melangsungkan pernikahan ini. Suatu hal yangtak pernah terbayangkan dan ternyata berhasil kulaksanakan. Bahkan aku masih punya sisa uang untuk mengajak istriku ke sumatera dan mengongkosinya pulang lagi ke yogya (untuk nerusin kuliahnya).
Sampai di sumatera,kembali nasib baik telah menungguku. Rombongan Waskita Aceh ternyata mengadakan tour dan meskipun aku sudah tidak di Aceh, tetapi masih dianggap warga Aceh, sehingga akupun didaftarkan untuk touring ke Berastagi dan Danau Toba.
Jadilah bulan maduku terlaksana di Danau Toba dan Berastagi (tanpa ngeluarin biaya sepeserpun).
Sungguh Allah swt memang sangat mengasihiku. Segala puji hanya bagi Dia Yang Maha Segala Maha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar