Tahun 2007 ini Malcolm Baldrige Criteria for Performance Exellence (MBCfPE) memberikan fokus khusus tentang masalah workforce. Pekembangan Teknologi Informasi (TI) yang terus melesat membuat kapabilitas dan kapasitas workforce mengalami gejolak yang kian terasa.
Padanan kata bahasa Indonesia untuk workforce agak sulit didapat. Workforce merupakan kumpulan SDM yang secara aktif terlibat dalam penyelesaian suatu pekerjaan, sehingga merupakan gabungan dari karyawan tetap, karyawan paruh waktu, karyawan kontrak maupun tenaga sukarelawan. Intinya semua personil yang terlibat dalam suatu penyelesaian pekerjaan/proyek adalah workforce, bisa meliputi pimpinan tim, supervisor, maupun manajer untuk semua tingkat organisasi.
Tolok ukur yang dipakai untuk menentukan apakah workforce mampu memberikan kinerja yang tinggi, tidak hanya sekedar kepuasan workforce, atau telah terpenuhinya harapan (ekspektasi) workforce, tapi juga meliputi workforce engagement.
Workforce engagement juga sulit dicarikan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, sehingga biasanya diterjemahkan menjadi keterlibatan tenaga kerja secara aktif, yang mengacu pada keterikatan tenaga kerja (workforce) baik secara emosional maupun intelektual, untuk melaksanakan suatu proyek, ataupun misi maupun visi perusahaan.
Pengukuran kepuasan workforce, masih bisa dilakukan dengan baik dan jelas, namun pengukuran keterlibatan aktif workforce agak sulit diukur, sehingga harus dicarikan padanan yang memadai sebagai alat ukur keterlibatan aktif workforce.
Biasanya pengukuran keterlibatan aktif tenaga kerja (workforce) dikaitkan dengan produktiftas tenaga kerja, atau dikaitkan dengan kinerja perusahaan. Makin produktif tenaga kerja atau makin meningkat kinerja perusahaan, kadang bisa dipakai sebagai salah satu tolok ukur akan meningkat eratnya keterlibatan aktif dari workforce.
Bila dalam suatu organisasi terlihat lingkungan kerja yang berkinerja tinggi dan semua tenaga kerja (workforce) terlihat termotivasi untuk melakukan yang terbaik bagi pelanggan internal maupun eksternal, maka kadang bisa disimpulkan telah terbentuk “workforce engagement” yang sangat baik di organisasi itu.
Adanya serikat pekerja juga menunjukkan bahwa workforce telah diberi wadah tepat, yang dapat menyalurkan semua ekspektasi tenaga kerja organisasi tersebut. Serikat pekerja dalam suatu organisasi biasanya akan mempermudah proses pengembangan diri tenaga kerja, peningkatan ketrampilan maupun pembentukan tim kerja yang tangguh dan ulet, sesuai budaya kerja yang ada pada organisasi tersebut.
Tentu akan lain ceritanya kalau dalam suatu organisasi terdapat beberapa serikat pekerja yang masing-masing punya afiliasi yang berbeda. Workforce engagement akan susah dicari tolok ukurnya pada organisasi yang mempunyai beberapa serikat pekerja, apalagi kalau masing-masing serikat pekerja tersebut membuat kubu-kubu yang saling beroposisi.
Kapabilitas workforce lebih berbicara pada kompetensi tenaga kerja, tentang bagaimana tenaga kerja dapat menyelesaikan pekerjaannya berdasar pada kemampuannya, ketrampilannya maupun pengetahuannya.
Perkembangan dunia TI yan begitu pesat, tentu akan membuat tenaga kerja saling meingkatkan dirinya untuk mengejar ketertinggalan dibidang TI. Peningkatan kemampuan yang tidak seragam akan membuat kapabilitas tenaga kerja yang ada menjadi berubah. Di satu pihak ada tenaga kerja yang kompetensinya begitu pesat meningkat, dan ditawari pekerjaan di tempat lain yang lebih menantang serta dengan penghasilan lebih baik, disisi lain adanya pengurangan tenaga kerja karena tenaga kerja yang ada sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan perubahan organisasi yang dipicu oleh pesatnya perkembangan dunia TI.
Disinilah organisasi harus mampu melihat kapasitas tenaga kerja yang dibutuhkan oleh organisasi untuk mengantisipasi adanya kebutuhan tenaga kerja musiman yang meningkat atau variasi kebutuhan tenaga kerja yang cukup siginifikan.
Pengelola sumber daya manusia harus lebih jeli dalam mensiasati hal ini. Pelatihan yang diadakan harus benar-benar didasari oleh analisa kebutuhan pelatihan (TNA = Training Need Analysis) yang tepat dan tidak asal mengadakan pelatihan.
Pelatihan yang baik bagi workforce akan banyak memberi nilai tambah bagi organisasi, antara lain adalah :
a. Kelompok individu yang makin loyal, makin kompeten dan makin meningkat kecerdasannya
b. Kepuasan batin tenaga kerja, yang tidak bisa dinilai dengan uang
c. Peningkatan aset perusahaan/organisasi dalam bidang pengetahuan (knowledge)
d. Peningkatan kemampuan tenaga kerja dalam memahami tugas-tugas kerja lintas fungsi
e. Lingkungan kerja yang lebih kondusif, inovatif dan nyaman
Secara tidak langsung peningkatan pengetahuan/kompetensi tenaga kerja akan berimbas pula pada kemampuan organisasi dalam merespon pasar, tuntutan pelanggan maupun peningkatan kinerjanya.
Dengan demikian, tidak salah kalau mulai sekarang kita lebih fokus lagi memahami posisi tenaga kerja (work force), pertanyaan kunci dari MBCfPE ini silahkan direnungkan kembali.
a. Bagaimana organisasi menjadikan workforce terlibat secara aktif untuk mencapai kesuksesan organisasi dan pribadi (How do you engage your workforce to achieve organizational and personal succes?)
b. Bagaimana organisasi membangun lingkungan workforce yang efektif dan mendukung (How do you build an effective and supportive workforce environment?)
Selamat menjawab.
Sumber bacaan : MBCfPE 2007 terbitan IQA Foundation, dan dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar