Kamis, Desember 25, 2008

25 Desember 2008 dan Pemilu 2009

Setiap tanggal 25 Desember, aku selalu inget dengan mas Budi. Dia adalah Panglima Lapangan saat aku masih aktif kampanye tahu 80an.

Kita satu partai dan satu korcam, sehingga selalu barengan jika kampanye. Dia memiliki keahlian mengerahkan masa dan memunculkan rasa aman bagi peserta kampanye, sementara aku bertugas memastikan kampanye terlaksana dengan baik dan benar.

Artinya aku harus memastikan semua sumber daya yang dibutuhkan, telah siap mendukung acara kampanye itu.

Sebelum masa kampanye bareng mas Budi, aku juga sudah ikut kampanye di periode sebelumnya [tahun 70an]. Saat kawan-kawanku berbaju merah aku berbaju hijau. Yang paling mengesankan, ketika aku ikut rombongan pawai dan motorku mogok, dan yang menolongku adalah para peserta pawai yang berbaju merah. Rasanya guyub banget suasana kampanye waktu itu.

Kalau gak salah waktu itu jari tangan yang satu mengacungkan satu jari dan tangan yang satunya 3 jari. Hal itu melambangkan kekompakan peserta pemilu nomor urut satu dan nomor urut tiga.

Untuk pemilu 2009, aku nggak bisa mbayangin kalau yang kompak adalah partai nomor 15 dan 17, gimana caranya mennjukkan dengan jari tangan. Mungkin jaman sudah berubah, sehingga kampanye model pawai sudah "nggak jamannya" lagi sekarang.

Tahun 80an itu satu kejadian yang membuat aku akhirnya berpikir panjang untuk mendukung parpol adalah ketika kita mengadakan pawai akbar di COndong Catur.

Sebelumnya, beberapa baliho kita sudah dibelah oleh orang tak dikenal, sehingga suasana panas sudah menghinggapi peserta pawai. Kalaulah, di saat itu, diketahui siapa pembelah baliho kita, pasti saat itu juga akan dirajang-rajang habis.

Begitulah kalau masa sudah berkumpul, akal sehatpun sudah mulai ditinggalkan.

Kampanye hari itu [pawai] baru berlangsung beberapa saat, tiba-tiba terdengar suara letusan senapan dari balik pohon tebu, saat kita melewati pinggir perumahan Condong Catur yang bersebelahan dengan ladang tebu.

Beberapa anggota keamanan pawai langsung berlari mencari arah tembakan, tetapi tidak sedikit yang berlari menjauh. Aku yang tidak berada di tempat kejadian, hanya mendengar berita saja.

Tahu-tahu aku harus menuju ke beberapa rumah sakit, karena beberapa teman telah berjatuhan dari motor mereka ketika beberapa peluru menerjang mereka.

Aku cek di RS Bethesda, ada beberapa teman yang sudah nungguin, demikian juga yang ada di Sardjito. Terakhir aku sampai di PKU Jl KHA Dahlan, ada dua orang yang masuk ke ruang gawat darurat.

Hari itu memang semua RS sedang kebanjiran pasien, rata-rata karena jatuh dari sepeda motor.

Ketika aku masuk ke ruang gawat darurat, maka yang kulihat hanya mas Budi seorang. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat karena dia mendengar bahwa akan ada operasi untuknya.

Panglima lapangan yang gagah berani ini, rupanya tidak takut akan sabetan kelewang tetapi takut pada meja operasi. Tidak ada cara lain, akupun mencoba menghiburnya, menenteramkan hatinya, bahwa operasi akan dilakukan oleh tenaga yang berpengalaman dan peluru yang bersarang di dadanya bukan peluru tajam.

Jadi take it easy aja. Padahal aku sendiri paling takut melihat darah, tapi sebagai penanggung jawab kegiatan pawai, aku harus berpura-pura tenang [sambil mikir kapan operasi dimulai dan aku bisa segera keluar dari ruangan ini].

Ternyata begitu operasi akan dimulai dan pasien dipindahkan ke kamar operasi, tiba-tiba tangan mas Budi langsung mencengkeramku. Tak ada tanda cengkeraman itu akan dilepas biarpun kita sudah masuk di ruang operasi.

Yang lebih kacau lagi, ternyata dokter memperbolehkan permintaan pasien untuk didampingi oleh temannya selama operasi berlangsung.

Halah.... ini aturan mana lagi.

Di ruang operasi, dokter adalah panglima tertinggi, dan akupun akhirnya menemani acara operasi itu dengan duduk diam disamping pasien dan tanganku dicengekram erat oleh mas Budi.

Alhamdulillah, operasi selesai juga dengan cepat [meskipun terasa lamaaaa sekali].

Begitu keluar dari ruang operasi, maka teman-teman sudah menunggu arahanku. Disinyalir, penembak rombongan pawai kita adalah dari partai pesaing pemilu. Namun hal ini susah dibuktikan, karena yang ada hanya tanda-tanda dan bukan bukti akurat.

Penembaknya diduga kuat adalah preman yang badannya penuh tato, tapi sekali lagi ini hanya sampai pada dugaan semata.

Meski demikian, saat itu, kita sangat yakin bahwa dialah pelakunya, hanya saja kita tidak punya buktinya.

Akupun akhirnya menuju ke kantor partai yang berada di antara sungai winongo dan stasiun Tugu.

Disitulah, kulihat para petinggi partai kita sedang berhaha hehe dengan partai yang kita anggap sebagai penembak kawan kita.

Kulihat bosku [ketua pelaksana pawai akbar] sudah ada di situ juga, demikian juga beberapa pengurus inti penyelenggara pawai. Mereka tampak dalam suasana putus asa.

Mereka rupanya putus asa, karena telah menyampaikan berita meninggalnya teman yang ikut pawai, tetapi tidak ditanggapi dengan serius.

Akupun jadi terpekur sendiri. Aku mencoba mencari hikmah dari kegiatan hari ini, dan ternyata aku sama sekali tidak dapat menemukannya. Aku terlalu larut dalam suasana hati teman-temanku, sehingga akal sehat sudah tidak ada tempat lagi.

Hari itupun berlalu dalam suasana yang penuh rasa penasaran.

Peristiwa itu akhirnya tekah menyadarkan aku, bahwa kita ini hanya pion yang benar-benar-benar berfungsi sebagai pion. Apa sih arti pion dibanding gajah atau kuda?

Kutelusuri kejadian-kejadian sebelum aku masuk dalam partai yang sudah kutinggalkan ini.

Pemilu periode lalu telah tidak memuaskan aku, sehingga aku telah bejanji untuk tidak aktif lagi di partai.

Begitulah, ketika teman-teman pada aktif kampanye, aku lebih sering nongkrong di masjid atau jalan-jalan ke kota, melihat-lihat pertunjukan seni.

Sampai akhirnya kulihat teman-teman di masjid pada membuat poster, selebaran untuk partai tertentu. Tentu hasilnya kurang layak dipandang, sehingga akupun tergerak untuk membantu mereka, kebetulan di masjid aku punya kegiatan sebagai tukang buat poster, spanduk dll, sehingga peralatanku lengkap dan dalam kondisi laik pakai.

Berawal dari hal itulah, maka mulai timbul rasa pertemanan yang kuat di antara kita, sehingga akupun mulai masuk kembali dalam lingkaran partai itu. Sebagai kelompok minoritas [karena kami tinggal di komplek yang 90% adalah PNS], maka kelompok inipun berjalan secara sembunyi-sembunyi.

Sayangnya, model tulisanku sudah sangat familiar di lingkunganku, sehingga akhirnya aku direkrut untuk jadi pengurus inti di korcam itu.

Semuanya mengalir begitu saja, tahu-tahu aku sudah aktif lagi di kepartaian.

Kejadian dua puluh tahun lalu itu ternyata masih membekas sampai saat ini, dan akupun tidak pernah lagi kampanye, kecuali saat dapet surat tugas dari kantorku untuk ikut kampanye [lumayan ikut kampanye, dapet kaos dan duit, nggak kayak dulu harus beli kaos sendiri dan gak ada yang mbayar].

Tahun 2009 sudah dekat dan aku masih belum menentukan pilihan partai. Kurasa SBY bakal jadi presiden lagi, wakilnya bisa tetep dari Golkar atau malah dari PKS.

Gak tahulah nanti jadinya, para ahlipun pendapatnya berbeda-beda. Bayanganku saja, bahwa PKS akan laris manis dipinang oleh partai lain, karena partai ini masih dianggap lebih bersih dan santun dibanding partai lain.

Semoga yang golput nggak banyak-banyak, karena meskipun GOLPUT itu hak mereka, tetapi kalau sampai yang golput sangat dominan, maka biaya yang dikeluarkan untuk pemilu ini jadi mubadzir.

Majulah Indonesiaku, mari kita terus tersenyum dengan ikhlas dalam doa-doa kita.
Semoga yangterbaik yang terjadi di negara kita ini.

Insya Allah.
Amin.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Assalamualaiku...
sebuah pengalaman dan sebagian perjalanan hidup yang indah dan inspiratif.
Kalau saya mungkin adalah orang yang sangat tidak suka dengan partai dan politik awalnya... tapi ketika sedikit faham bahwa apapun yang dikelola di negeri ini tidak akan terlepas dari sistem itu, maka akhirnya sadar bahwa memilih untuk "idak memilih" atau golput adalah kesiaan.
Saya agak sepakat memang PKS (sampai saat ini) merupakan salah satu harapan....
sukses !!!!

Richi Rich mengatakan...

hmmm..kayaknya di Pemilu 2009 Abang ga usah ikut-ikut konvoi lagi deh! kalo liat cerita di atas, wah ngeri banget memang melihat persaingan dan panas-panasan antar partai. Apalgi Abang dah punya keluarga dan anak-anak yang sehat. Apa lagi yang dikejar? yapz, saya setuju juga dengan komen-nya Bapakethufail, bahwa kita jangan sampai golput. seberapa kecil suara kita untuk memilih, tetap menjadi dorongan agar Indonesia bisa mendapatkan pemimpin yang jujur, adil dan Cerdas!

Anonim mengatakan...

@bapakethufail and
@Litle Joha

Makasih komentarnya
insya Allah, aku nanti tidak Golput dan dapat menentukan pilihan yang baik dan benar

Sayang memang kalau sampai Golput.

Apapun juga, ini adalah Indonesia kita, hanya kita yang bisa membuat Indonesia makin makmur atau makin rusak.

Tentunya kita menginginkan Indonesia yang lebih baik dan lebih "adem".

Salam