Rabu, Desember 31, 2008

Tikungan Iblis, TIM 30 Des 08


Anakku LiLo [8 tahun] bertahan sampai akhir pertunjukkan, ketika nonton Tikungan Iblisnya Teater DInasti. Mungkin, malam itu dia adalah penonton terkecil di Gedung Graha Bakti Budaya TIM.

Ini memang pentas yang sarat dengan nostalgia, kalaulah ada nuansa Gandrik disana, atau nuansa Kiai Kanjeng disana, maka memang beitulah adanya. Teater Dinasti memang adalah induk dari kelompok-kelompok itu, sehingga warna pementasan merekapun terlihat tidak jauh berbeda.

Panggung yang ditata secara minimalis, memang disengaja untuk mengedepankan kekuatan masing-masing aktor pendukung pementasan ini. Aktor gaek, mas Joko Kampto, terlihat masih sangat piawai [boleh dibilang semakin matang] dalam membawakan peran iblis yang begitu mengharu birukan pementasan itu.

Penonton dibuat terkesima oleh sang iblis yang ternyata begitu hormat pada Muhammad SAW dan begitu santun menyampaikan "nasihatnya". Ibli scukup satu, tak perlu banyak-banyak, karena akan susah melakukan identifikasinya. Satu iblis sudah cukup untuk membuat manusia menjadi serakah, rakus dan anarkis.

Lakon sepanjang hampir 3 jam ini, lebih lama dibanding ketika dipentaskan di Yogya, memang jadi terasa kedodoran menjelang akhir pertunjukkan.

Beberapa tambahan dialog telah memperkaya pementasan ini. LiLo, di akhir pertunjukkan, sangat terkesan dengan istilah Keris KAPAK [tanpa huruf A] ataupun keris tebar pesona, yang merupakan tambahan dialog di panggung TIM ini.

Aku sendiri memang tidak menonton pertunjukan Tikungan Iblis [TI] di Yogya, tapi istriku dengan cermat menunjukkan adegan-adegan yang tidak ada di pementasan Yogya.

Adegan terakhir juga terlihat kurang klimaks, sehingga penonton termanggu-manggu, mengira masih ada adegan lain, sementara pemain sudah undur diri dari panggung.

Pengobrak-abrikan adegan atau dialog ini rupanya memang disadari oleh teater dinasti, karena mereka tidak menjadikan teater sebagai Tuhannya, tetapi teaterlah yang harus mengabdi pada mereka.

Ini memang bukan pertunjukkan teater seperti yang menjadi pakem teater, karena naskah ditulis berdasar subyek ataupun faktor-faktor apa adanya yang terjadi dalam komunitas teater dinasti. Telah dilakukan sekian kali pemotongan, pengembangan, ataupun modifikasi teks ketika kenyataan dalam latihan menunjukkan adanya teks yang lebih pas.

Pengurangan ataupun penambahan jumlah pemain tidak menjadi masalah, karena yang dilakukan hanyalah perubahan teks. Jadi mirip dengan cerita dalam blog yang alur ceritanya tidak dibuat sejak awal tetapi mengikuti selera pembacanya.

Lepas dari semua kekurangan yang ada, pementasan ini boleh dibilang sangat sukses. Inilah parameternya :

1. Anakku yang umur 8 tahun, bisa mengerti jalan cerita dan misi yang disampaikan oleh pementasan TI ini, dengan bahasanya sendiri [meskipin dia sempat "terlelap" sebentar menjelang akhir pementasan]
2. Tiket "sold out" [aku minta maaf sama partai PK* yang karena tidak segera mbayar tiket, terpaksa tiketnya diserahkan panitia ke sakuku]
3. Penonton benar-benar tersihir oleh pementasan itu, sehingga tidak ada gangguan sedikitpun dari penonton [justru ada sedikit gangguan dari "sound"]
4. Penonton masih asyik berkumpul di sekitar gedung pertunjukkan membahas isi pementasan [jangan tanya yang ikut nyalami para pemain di belakang panggung, sampai WIratno Hanura saja menyempatkan diri menyalami mereka]
5. Komentar salah seorang wartawan yang memuji pementasan itu.
6. Komentar istriku yang rela nonton berkali-kali, dan masih mau nonton lagi kalau ada pentas lagi.
7. Komentar nomor 5 dan 6 kayaknya kok subyektif banget ya? Mohon diganti saja [silahkan yang nonton TI untuk ikut mengganti komentar nomor 5 dan 6]

Pokoknya tidak rugi nonton TI [baca sendiri saja di htp://www.tikunganiblis.com/]




updated:
rombongan baru bisa kembali ke yogya sekitar jam 05.00 [karena busnya bermasalah]
begitu kata mas Jemek via FB

Tidak ada komentar: