Tampilkan postingan dengan label teater. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label teater. Tampilkan semua postingan

Sabtu, Mei 09, 2009

Dagelan Mataram --> The Next Generation

Awalnya aku dapat balasan pesan dari mas Indro Warkop di Fisbuk dan kukabarkan pesan ini pada teman-teman di Yogya. Rupanya teman-teman di Yogya mneyikapi berita ini dengan diskusi tentang format acara apa yang saat ini menarik untuk ditampilkan di layar kaca.

Tahun 80an, mereka memang malang melintang di panggung maupun di layar kaca. Dua dunia yang sangat berbeda itu, mereka geluti secara bersamaan. Ini jelas sebuah tantangan yang menarik.

Laiknya jago main tenis disuruh main badminton, maka meskipun terlihat sama-sama pegang raket, tetapi teori bermainnya sama sekali berbeda, bahkan bertolak belakang.

Pada permainan badminton, pergelangan tangan amat sangat berperan, hal ini menjadi tabu untuk permainan tenis. Sekarang Silahkan dicoba main tenis lapangan dengan cara main badminton. Dijamin permainan akan macet atau tangan menjadi cedera.

Begitu jugalah dengan cara berakting di panggung dengan cara berakting di layar kaca. Meskipun sama-sama bernama "akting", tapi teorinya sangat berbeda.

Teori akting di panggung, jika dipakai di layar kaca akan terlihat menjadi gerakan yang over akting. Seolah-olah sang aktor adalah pemain yang baru belajar akting. Sebaliknya teori main di layar kaca, jika dipakai di panggung akan membuat pesan yang disampaikan tidak sampai ke audience.

Diskusi-diskusi itu akhirnya mendapat wadah ketika akhirnya aku meluncur ke Yogya untuk kangen-kangenan dengan mereka, teman-temanku bermain akting di tetaer stemka.

Meskipun aku banyak berperan di teater kampus, tapi harus kuakui tetaer STEMKA adalah tempat sekolahku belajar teater, disamping belajar juga di teater 10 Paksi Delayota.

Ada 5 orang yang hadir di acara reuni itu.

Yang paling sepuh adalah HASMI alias Haryo Suraminata, sang pencipta komik GUNDALA Puter Petir. Kemudian yang paling muda adalah Yudistira Ramadhan, blogger muda yang menjadi blogger tamu di blogku.

Dua orang lagi adalah Tri SUdarsono dan Constantinus Teguh D, anggota dari grup 3 T yang pernah mendapat pulpen emas karena menampilkan humor segar dengan bahasa Indonesia yang tetap terjaga.

Pulpen mereka itu sekarang ada dimana aku tak tahu, kalau pulpenku sih sudah kujual sejak tak pernah kupakai dan butuh duit segar.

Sang pelayan sampai bingung melayani kita. Bagaimana tidak, begitu duduk mereka langsung nyerocos nggak bisa dihentikan. Tak ada terlintas di kepala mereka untuk pesan makan minum dulu baru kemudian mulai membuka pembicaraan.

Ketika akhirnya ada jeda, maka kupastikan mereka pesan minuman dulu dan kemudian kuminta pelayan untuk datang lagi beberapa menit setelah pembicaraan awal ini selesai.

Ternyata ceritanya seru banget. Ada cerita tentang hape hilang dan pencurinya nelpon ke alamat yang ada di hape untuk mengisi pulsa di nomor tertentu.

Ada juga cerita tentang mas Wendo [Arswendo Atomowiloto] yang masih terus semangat untuk menciptakan tayangan yang bermutu di layar kaca meskipun tantangan untuk itu amat sangat besar.

Lihat saja tayangan yang laris manis di layar kaca, sebagian besar adalah tayangan yang tidak jelas arahnya mau kemana. Rupanya kawan-kawanku ini pada terusik dengan tayangan layar kaca saat ini yang didominasi oleh tayangan yang jauh dari bermutu.

Jiwa mereka terbangkit dan ada keinginan untuk muncul lagi di dunia panggung maupun di layar kaca.

"Mampukah kita ini menarik penonton lagi seperti tahun 80-an dulu?", begitu pertanyaan yang muncul dan jawaban pertanyaan itupun membuat mereka berpikir keras.
narsisnya gak ilang2 [Hasmi and Me]
Format acara yang seperti apa sih yang saat ini bisa menarik pemirsa untuk duduk di depan layar kaca untuk melihat penampilan mereka?

Diskusipun berkembang terus dengan membahas bermacam-macam format. Kemampuan mereka rupanya masih tajam untuk membuat analisa tayangan, mulai dari setting studionya, angle camera sampai ke materi acaranya.

Seolah-olah sudah pasti tayang di layar kaca, maka merekapun sudah membayangkan kalau acara yang mereka buat nantinya harus tayang setiap hari [Senin-Jumat]. Tim kreatif yang bagaimana yang harus dibentuk dan dimana home base yang harus mereka ambil untuk kelancaran proyek ini.
asyik membahas yang masih di angan-angan [Teguh dan Hasmi]
Kebetulan hari itu adalah hari ultah mas Indro Warkop, jadi di sela-sela acara kusempatkan untuk mengucapkan slamat ulang tahun kepada mas Indro Warkop.
kirim ucapan selamat ultah buat mas Indro [pakai whiteberry tuh]
Nggak tahu juga apa sebabnya, tetapi komentar ultah dari kawan-kawan Yogya itu muncul dua kali di dinding mas Indro [wah yang salah ini servernya fisbuk atau BB-ku yang ngadat ya?]

Rama, sang blogger tamuku, asyik mendengarkan diskusi kami tanpa sedikitpun memberikan pendapatnya, mungkin sungkan mungkin juga dia sedang menikmati diskusi seniornya. Maklum yang sedang berdiskusi ini adalah kawan-kawan dari bapaknya Rama [yang sudah almarhum], sehingga dia sungkan untuk ikut menyumbangkan buah pikirannya.

Diskusi terus berlangsung dalam suasana yang sangat njawani dan "nyetemka" [model diskusi ini susah dijelaskan, hanya orang teater stemka yang bisa merasakan model diskusi ini].
4 Masgetir [?]
Ketika akhirnya ada jeda diskusi, maka baru kita sadari bahwa smeua tamu sudah meninggalkan rumah makan ini. Pintu gerbang rumah makan juga sudah terlihat ditutup, kamipun akhirnya meninggalkan rumah makan ini dengan hati yang berkecamuk, karena masih ada yang beklum dituntaskan di malam ini.

Mas Hasmi, mas Teguh dan mas Tri, masih ada hari lain untuk bertemu lagi. Kalau Tuhan berkehendak, maka keinginan untuk main di panggung maupun di layar kaca pasti akan kesampaian.

Insya Allah Tuhan tidak tidur.
Semoga ini menjadi doa yang baik dan percik asa munculnya tayangan bermutu di layar kaca.
Amin
dari kanan Teguh, Hasmi, TrIS [eshape] dan Tri
...

Rabu, Desember 31, 2008

Tikungan Iblis, TIM 30 Des 08


Anakku LiLo [8 tahun] bertahan sampai akhir pertunjukkan, ketika nonton Tikungan Iblisnya Teater DInasti. Mungkin, malam itu dia adalah penonton terkecil di Gedung Graha Bakti Budaya TIM.

Ini memang pentas yang sarat dengan nostalgia, kalaulah ada nuansa Gandrik disana, atau nuansa Kiai Kanjeng disana, maka memang beitulah adanya. Teater Dinasti memang adalah induk dari kelompok-kelompok itu, sehingga warna pementasan merekapun terlihat tidak jauh berbeda.

Panggung yang ditata secara minimalis, memang disengaja untuk mengedepankan kekuatan masing-masing aktor pendukung pementasan ini. Aktor gaek, mas Joko Kampto, terlihat masih sangat piawai [boleh dibilang semakin matang] dalam membawakan peran iblis yang begitu mengharu birukan pementasan itu.

Penonton dibuat terkesima oleh sang iblis yang ternyata begitu hormat pada Muhammad SAW dan begitu santun menyampaikan "nasihatnya". Ibli scukup satu, tak perlu banyak-banyak, karena akan susah melakukan identifikasinya. Satu iblis sudah cukup untuk membuat manusia menjadi serakah, rakus dan anarkis.

Lakon sepanjang hampir 3 jam ini, lebih lama dibanding ketika dipentaskan di Yogya, memang jadi terasa kedodoran menjelang akhir pertunjukkan.

Beberapa tambahan dialog telah memperkaya pementasan ini. LiLo, di akhir pertunjukkan, sangat terkesan dengan istilah Keris KAPAK [tanpa huruf A] ataupun keris tebar pesona, yang merupakan tambahan dialog di panggung TIM ini.

Aku sendiri memang tidak menonton pertunjukan Tikungan Iblis [TI] di Yogya, tapi istriku dengan cermat menunjukkan adegan-adegan yang tidak ada di pementasan Yogya.

Adegan terakhir juga terlihat kurang klimaks, sehingga penonton termanggu-manggu, mengira masih ada adegan lain, sementara pemain sudah undur diri dari panggung.

Pengobrak-abrikan adegan atau dialog ini rupanya memang disadari oleh teater dinasti, karena mereka tidak menjadikan teater sebagai Tuhannya, tetapi teaterlah yang harus mengabdi pada mereka.

Ini memang bukan pertunjukkan teater seperti yang menjadi pakem teater, karena naskah ditulis berdasar subyek ataupun faktor-faktor apa adanya yang terjadi dalam komunitas teater dinasti. Telah dilakukan sekian kali pemotongan, pengembangan, ataupun modifikasi teks ketika kenyataan dalam latihan menunjukkan adanya teks yang lebih pas.

Pengurangan ataupun penambahan jumlah pemain tidak menjadi masalah, karena yang dilakukan hanyalah perubahan teks. Jadi mirip dengan cerita dalam blog yang alur ceritanya tidak dibuat sejak awal tetapi mengikuti selera pembacanya.

Lepas dari semua kekurangan yang ada, pementasan ini boleh dibilang sangat sukses. Inilah parameternya :

1. Anakku yang umur 8 tahun, bisa mengerti jalan cerita dan misi yang disampaikan oleh pementasan TI ini, dengan bahasanya sendiri [meskipin dia sempat "terlelap" sebentar menjelang akhir pementasan]
2. Tiket "sold out" [aku minta maaf sama partai PK* yang karena tidak segera mbayar tiket, terpaksa tiketnya diserahkan panitia ke sakuku]
3. Penonton benar-benar tersihir oleh pementasan itu, sehingga tidak ada gangguan sedikitpun dari penonton [justru ada sedikit gangguan dari "sound"]
4. Penonton masih asyik berkumpul di sekitar gedung pertunjukkan membahas isi pementasan [jangan tanya yang ikut nyalami para pemain di belakang panggung, sampai WIratno Hanura saja menyempatkan diri menyalami mereka]
5. Komentar salah seorang wartawan yang memuji pementasan itu.
6. Komentar istriku yang rela nonton berkali-kali, dan masih mau nonton lagi kalau ada pentas lagi.
7. Komentar nomor 5 dan 6 kayaknya kok subyektif banget ya? Mohon diganti saja [silahkan yang nonton TI untuk ikut mengganti komentar nomor 5 dan 6]

Pokoknya tidak rugi nonton TI [baca sendiri saja di htp://www.tikunganiblis.com/]




updated:
rombongan baru bisa kembali ke yogya sekitar jam 05.00 [karena busnya bermasalah]
begitu kata mas Jemek via FB

Minggu, September 07, 2008

MaiN BoLa [di bulan puasa]


Ketika masih aktif di Tapak Suci, aku pernah bikin acara long march dengan jarak sekitar 17 km [yogya - prambanan] di bulan puasa. Tim medis sudah disiapkan, siapa tahu nanti ada yang perlu dilarikan ke rumah sakit atau perlu istirahat di tempat yang teduh.

Ternyata semua sehat-sehat, tidak ada yang bermasalah. Padahal aspal panas yogya prambanan cukup menyengat juga tuh. Kuncinya hanya ada dua, yaitu keyakinan bahwa bulan puasa tidak identik dengan "lemas, loyo, letih dan lesu".

Yang kedua, sebelum berangkat olesi kaki dengan ramuan khusus, yaitu bawang merah yang diuleg [dihancurkan] dicampur minyak makan ["lengo klenthik"].

Saat masih aktif latihan teater, pernah juga latihan alam di pantai baron pas bulan puasa. Diterpa angin laut dan ombak pantai, berteriak-teriak kayak orang gila [aslinya memang agak gila], dan tidak ada rasa harus "mokel", berbuka sebelum waktu berbuka.

Sore ini, kuajak anakku untuk main bola di lapangan jababeka, di pinggir lapangan golf, di belakang rumah.

Berdua berlari-larian, saling berganti pose, sampai menjelang buka, kita pulang, mandi dan ke masjid untuk ngumpul dengan teman-teman, berbuka puasa bersama.

Sore ini takjilnya enak banget dan buanyak banget, sehingga biarpun yang datang juga banyak banget, nggak ada yang kekurangan makanan.




Minggu, Agustus 17, 2008

Teater Dinasti (Tikungan Iblis)


Teater Dinasti bangkit lagi dan akan mementaskan "Tikungan Iblis" tanggal 23 Agustus 2008 di Yogyakarta.

Wah asyik banget tuh. Kalau saja aku di Yogya, pasti pingin nonton deh. Sayang Yogya begitu jauh dan di tanggal itu aku punya acara "outbond" dengan karyawan baru Waskita.

Nggak tahunya istriku sudah ngantongin tiket. He..he..he.. kayaknya dia kangen betul dengan mas Fajar, Jujuk, Nevi dll yang dulu pernah begitu akrab dengannya.

Semoga acaranya sukses. Amin.

Selamat buat mas Fajar, Jujuk, Jemek, Nevi, dll.

Senin, Februari 18, 2008

MaS JeMeK

Jumat siang, 15 Pebruari 2008, istriku nonton Mas Jemek di transTV. Saking senengnya ngeliat temen lama, dia jadi nelpon kemana-mana, terutama ke yogya untuk nanyain apa pada nonton Mas Jemek.

Rupanya cuma Emha yang nonton film itu. Mungkin kebetulan juga dia nonton, soalnya biasanya dia kan orang yang super sibuk (eh waktu mbah Suharto meninggal dia nglayat enggak ya?!:-)

Selesai nonton Mas Jemek, istriku jadi kepikiran, gimana ya caranya menggairahkan lagi pertunjukkan pantomim. Apa bisa dengan mengadakan lomba pantomim, dipadukan dengan lomba baca puisi atau semacam itu.

Kubilang, di jaman ini, orang sudah males nonton pertunjukkan yang berhubungan dengan seni teater. Nonton di bioskop saja mareka males, apalagi nonton pantomim. Kalau nDuGem, mungkin malah banyak yang tertarik, atau ngeMall (mejeng di mall) baru banyak orang yang tertarik.

Setiap hari libur, mall-mall pada mbuat acara untuk ditonton sambil jalan-jalan. Sungguh, seni yang dipertontonkan hanya dihargai orang dengan cara “sambil jalan-jalan”. Kasihan banget dunia seni saat ini. Kalau lomba pantomim di mall, mungkin baru ada yang nonton. Masalahnya, siapa yang mau ditonton? Siapa anak muda yang bisa dan mau main pantomim saat ini?

Pembicaraan ini berlangsung di atas angkot 59, ketika istriku curhat padaku, sambil menembus hujan lebat dari Cawang sampai Cikarang.

Aku jadi inget tulisan Mas Jemek yang dimuat di blognya. Begini katanya :
“Nggak mungkin bisa hidup hanya mengandalkan penghasilan dari main pantomim. Kalau ada order, paling saya hanya dibayar sekitar Rp 500.000, sementara untuk hidup bersama satu anak dan satu istri dalam sebulan jelas lebih dari penghasilan saya sekali pentas,” ungkapnya.”
(http://jemekmime.blogspot.com/)

Tak ada nada putus asa dalam kalimat itu, dia yakin kekurangan dari bermain seni pantomim, tapi dia tetep setia dengan dunianya. Sampai matipun, itulah dunia mas Jemek.

Salut mas …!

Rabu, September 05, 2007

WARKOP DKI

Beberapa kali manggung bareng Trio Warkop DKI membuat hubunganku dengan mereka makin akrab. Mereka sangat menghargai aku dan begitu juga aku terhadap mereka.

Ucapan jujur mereka yang membuat aku hormat. Begini katanya, “kami kadang-kadang risi disuruh main film kayak gitu, kurang cerdaslah, tapi begitulah maunya penonton indonesia”

Mereka memang pribadi yang ramah dan “easy going”, apalagi mas Indro yang mudah akrab dan berjiwa terbuka (mungkin cocok dengan kegemarannya pakai mobil VW dan sepeda motor HD).

Aku masih teringat ketika malem-malem diajak makan seafood di kaki lima, dan mas Indro begitu fasih menyapa orang yang mengenalnya. Semua orang dianggap sama olehnya.

Kejadian yang ingin kuceritakan adalah ketika acara PORSENI mahasiswa seIndonesia tahun 80an, yang saat itu jadwalnya adalah lomba lawak di TIM dan Trio Warkop bertindak sebagai jurinya.

Para mahasiswa sak Indonesia itu begitu heboh bersalaman dengan Tri Warkop, kecuali mahasiswa dari Gadjah Mada [yang malu-malu tapi pingin].

Aku saat itu ikut juga menghadiri acara lomba, karena kebetulan diminta oleh tim mahasiswa ISI (pemenang lomba lawak Yogya, yang waktu itu namanya masih ISTI) untuk menjadi pelatih mereka dalam seni lawak.

Saat itu aku sungguh sangat terkesan. Bayangkan, aku berangkat ke jakarta bukan sebagai pelawak, tetapi sebagai tukang dekor teater Gadjah Mada, nyatanya di Jakarta malah didaulat sebagai pelatih lawak. Inilah kali pertama dapet tugas sebagai tukang dekor teater dan pelatih grup lawak.

Yang lebih mengesankan, saat bertugas membuat dekor, ternyata mahasiswa sak DIY [yang memngenalku] ikut mbantu pembuatan dekor.

He...he..he... jadilah dekoranku menjadi dekor terbaik dari semua pertunjukkan teater antar mahasiswa sak Indonesia (ha...ha...ha..., menurutku lho...!:-). Yang jelas kami pulang membawa piala sebagai teater terbaik.

Nah, kembali ke para mahasiswa UGM yang malu-malu itu akhirnya bisa juga ketemu dengan idolanya di pelataran parkir TIM saat Trio Warkop akan pulang, setelah mereka selesai bertugas.

Saking inginnya berkenalan, mereka ngikut aja kemana Warkop pergi, sampai-sampai jemputan bis dari asrama tidak mereka hiraukan lagi. Mereka gak kenal Jakarta dan nggak peduli mau naik apa pulang ke asrama.

Saat warkop melihatku, langsung saja aku diajak makan di warung yang ada di sekitar TIM, dan ngikutlah para mahasiswa itu masuk ke warung. Semua makan siang dengan enak dan agak “kekenyangan”, soalnya ada perintah dari warkop bahwa semua makanan akan dibayar oleh warkop.

Beberapa orang yang tahu hubunganku dengan Warkop merasa ini adalah hal yang wajar, tapi mereka yang nggak tahu menganggap bahwa warkop sangat luar biasa. Lha kok mereka (warkop) mau membayari makan para mahasiswa (sak bis) yang nggak dikenalnya...?!?

[warung itu sudah berubah menjadi seperti ini di bulan Desember tahun 2008]

Yang jelas, aku yang paling bahagia. Lomba lawak dimenangkan oleh DIY, demikian juga lomba teater. Dua-duanya aku tidak campur tangan secara langsung, tetapi ada andilku disana dan itu adalah andil yang belum pernah kulakukan sebelumnya.

Jangan-jangan aku memang punya bakat jadi pelatih lawak dan pendekor panggung...!:-)

(tulisan ini mungkin ada salah inget di beberapa kalimat, maklum udah 20 tahun yang lalu, bahkan lebih)