Tampilkan postingan dengan label pondok candra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pondok candra. Tampilkan semua postingan

Rabu, Oktober 29, 2008

Patin Bakar Bambu


Kalau perut terasa lapar, pingin makan ikan patin bakar [bambu] dan sedang berada dekat pintu tol Cimanggis, maka pilihan rumah makan yang paling "joss gandhos" [mak nyuss] sebaiknya dijatuhkan ke Pondok Ikan Bakar "Kalimantan".

Pondok Ikan Bakar ini memang berbeda dibanding Pondok Ikan Bakar lainnya. Kalau melihat menu makanannya, model restorannya, maka pasti kita langsung menduga bahwa Pondok ini pasti mengusung warna sunda.

Tentu itu adalah tebakan yang tidak salah, karena memang begitulah suasana yang diciptakan oleh pemilik pondok ikan ini. Khas sunda banget.

Cuma kalau kita memesan Ikan Patin Bakar Bambu, maka orang sundapun akan bingung dengan cita rasanya. Kok model cita rasanya tidak seperti yang disajikan di warung sunda lainnya ya....

Rasanya benar-benar pas. Tidak gosong, lembut, gurih dan [mungkin ini yang utama] rasanya segar banget.

Setelah selesai makan, maka saat ke toilet, baru terjawab mengapa ikannya seger banget. Rupanya ada beberapa kolam besar yang dangkal [dengan aerasi pancuran air] dan penuh dengan ikan patin yang ukurannya sekitar sekiloan.

Rumusku untuk mengetahui rumah makan itu jorok atau tidak adalah dengan melihat kamar mandinya. Bila toiletnya bersih, terawat rapi, maka bisa dipastikan rumah makan ini dikelola dengan manajemen yang baik dan tidak asal bisa menyajikan makanan yang terasa enak tapi tidak jelas kebersihannya.

Menu lainnya yang kucoba adalah karedok yang khas sunda banget. Wuihhh ini juga rasanya pas banget.

Minumannya, kupilih kelapa muda [campur jeruk] dengan gelas besar. Biasanya aku kesulitan untuk menghabiskan minuman seukuran gelas besar ini, tapi penyajian warnanya yang megundang selera membuat aku sanggup menghabiskan minuman gelas besar ini.

Minuman ini juga dilengkapi dengan tambahan gula cair, sehingga bagi yang tidak suka manis, tidak perlu menuang gula cair itu. Bagi yang suka manis, maka bisa minta lagi gula cairnya, jika dirasa masih kurang manis.

Ada lagi yang biasa tapi istimewa, yaitu pete [bakar, goreng maupun mentah]. Gak tahu juga, apa karena sudah terbius oleh rasa Patin Bakar Bambu, maka petenyapun jadi ikut terasa enak.

Perlu diketahui bahwa pete, jika dibandingkan dengan apel, maka selain kaya akan kalium pete memiliki karbohidrat dua kali lebih banyak, tiga kali lipat fosfor, protein empat kali lebih banyak, lima kali lipat Vitamin A dan zat besi, dan dua kali lipat jumlah vitamin dan mineral lainnya.

[sumber internet, CMIIW]

Last but not least, pasti yang membuat semua itu terasa lebih mantap adalah sambalnya yang bener-bener bikin kelimpungan. Biarpun tidak pedas [tomatnya cukup banyak], tapi kelihatannya sudah di"set-up" agar pas dengan Patinnya.

Silahkan test kalau pas dekat dengan pintu tol Cimanggis. Yang penting jangan berlebih-lebihan.

"Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah (SWT) tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan". (al-A'raf: 31)

Dua JempOL untuk rasa dan suasana rumah makan [shoot by : septiawan]


Suasana yang teduh dan adem [teduh ya pasti adem donk]


Silahkan pilih yang sesuai kantong

Sabtu, Agustus 09, 2008

Pancaran Energi Positif (02)

Setelah membaca buku Quantum Ikhlas, lihat film The Secret, kemudian menghadiri presentasi “Setengah Isi Setengah Kosong”, maka aku jadi bernostalgia. Ternyata semu ajalan hidupku menjadi seperti ini adalah buah dari pancaran energi yang bersumber dari suara hatiku.

Kuingat ketika aku harus pindah rumah di Ajun Peukan Bada Aceh, karena tidak ada kesepakatan harga kontrak dengan pemilik rumah, maka tetangga depan rumahku dengan penuh antusias bersedia untuk menghubungi pemilik rumah agar harga sewa rumahnya diturunkan. Tentu maksudnya agar aku tetap berdekatan dengannya. Padahal selama tetanggaan dengan dia, lebih banyak materi yang kuterima dari dia dibanding materi yang kuberikan padanya.

Di Medan, aku sewa sebuah rumah, kemudian kawan-kawan yang mau tinggal di rumah itu membayar sewa kamar padaku. He..he..he… jadi inget ketika tiap hari harus masak mie instan, dengan segala macam metode.

Kalau dijumlah, sewa kamar yang kudapat dibanding yang kubayarkan, maka aku “tekor” banyak. Soalnya mereka membayar sesuai harga kamar kost sederhana, sementara aku membayar sewa rumah lengkap.

Saat itu, aku lkhlas menerima kondisi itu, disamping aku sanggup membayar kekurangannya, aku juga jadi punya temen ngobrol kalau nonton TiVi malem-malem. Yang tak terduga, yang punya rumah ternyata sering ngirimin aku makanan, mungkin menjaga agar aku tidak keriting karena kebanyakan makan mie instan.

Selama tinggal di rumah Jl Elang Medan itu, begitu banyak materi yang kudapat dari pemilik rumah maupun dari temannya orang yang mbayar sewa kamar padaku. Alhasil, total biaya yang kukeluarkan jadi optimal dan aku sanggup mengirim “ucapan terima kasih” pada orang tuaku di Yogya. Memang kata orang-orang, seberapapun “ucapan terima kasih” yang kita berikan pada orang tua kita, maka itu tetap tidak akan cukup untuk membalas kasih sayang mereka, yang bak matahari.

Di Surabaya, aku tinggal di kampung yang begitu damai (bagiku). Meskipun kemudian aku tahu, bahwa ada beberapa “kelompokisme” di kampung, namun ternyata aku tidak terpengaruh dengan kelompokisme itu.

Mereka memang pada membuat kelompok yang saling tidak setuju, namun semua kelompok itu mengakui aku sebagai salah satu anggotanya, dan sebenarnya mereka punya tujuan yang sama, yaitu bagaimana memakmurkan RT-nya (lingkungannya) agar memebri nilai tambah bagi penghuni kampung.

Mis komunikasi yang membuat mereka pecah menjadi beberapa kelompok.

Seiring dengan perjalanan waktu, maka kelompok-kelompok itu mulai makin mencair, dan meskipun tidak benar-benar mencair, tetapi keguyuban RT di Pondok Candra itu memberi ketenteraman hati pada para penghuninya.

Di Jakarta ini, setali tiga uang.  Model cluster yang membuat kita saling tidak tahu kegiatan antar tetangga, tidak menyurutkan semangat bertetangga. Mereka adalah tetangga yang baik dan menyenangkan. Peringatan 17an tahun 2008 ini akan menjadi saksi betapa kompaknya Custer Montana yang kutempati sampai saat ini.

Benang merah dari semua kejadian itu adalah energi positif yang selalu kupancarkan secara sengaja maupun tida sengaja. Memang energi itu otomatis akan memancarkan suara hati kita. Jadi tinggal kita “tune” suara hati kita dengan musik asmaul husna, maka lingkungan kita akan baik dengan sendirinya. Tidak perlu berdakwah, cukup perkuat “broadcast” suara hati dan alam semesta ini akan diatur oleh Yang Maha Kuasa untuk menerima pancaran suara hati kita.

Pecahkan belenggu yang mengotori suara hati kita, dan pelihara “GOD SPOT” aga terus memancarkan suara hati yang berlafaz asmaul husna, 99 nama Allah yang indah. Insya Allah, hidup menjadi lebih bermakna. Amin.