Inilah enggak enaknya kalau jalan bareng Arswendo Atmowiloto. Apalagi baru saja tampil menarik di Sentilan Sentilun, maka wajahnya tidak bisa disembunyikan lagi.
Meskipun melayani dengan baik-baik semua penggemarnya yang mengajak foto bersama atau sekedar say hello, tetap saja Mas Wendo lebih nyaman kalau bisa berduaan ngobrol masa lalu dan masa kini.
"Hasmi Bapak Gundala Putera Petir iki seniman edan tenan Ko, sing metu seko pikirane sok-sok ora mlebu nalar tapi orisinil, saiki angel nggolek seniman koyo Hasmi"
("Hasmi Bapak Gundala Petir adalah seniman gila, pemikirannya sering tidak masuk akal tapi sangat orisinil. Saat ini sangat sulit mencari seniman seperti Hasmi")
Kamipun akhirnya bisa asyik ngobrol setelah semua penggemar Mas Wendo meninggalkan kita.Sempat juga nyinggung mas Abi yang saat ini aktif (banget) di LPI.
"Bocah kuwi apik. Mbuh saiki wis ra tau kepethuk maneh"
(Mas Abi itu anak baik. Tidak tahu kabarnya sekarang karena sudah lama tidak bertemu").
Pembicaraan kita memang meloncat-loncat, tanpa batas yang jelas. Kadang bisa asyik cerita tentang persahabatan model lama yang susah ditemui di jaman ini.
"Aku masih ingat mengundang mas Wendo, mas Arwah Setiawan dan mas Jaya Suprana jadi Juri lomba nasional di Yogya dan tidak bayar, hahahaha...panitianya bingung tuh..!"
"Sekarang masih ada enggak ya Juri yang mau didatangkan gratis dari luar kota tanpa perlu dibayar sepeserpun, baik biaya tiket maupun akomodasi selama di Yogya?"
Kita tergelak-gelak bersama setiap mengingat kemustahilan yang terjadi di tahun-tahun 80an. Mengapa semua bisa terjadi begitu gampang, sementara saat ini semua terasa serba sulit dan serba kaku.
"Mbiyen Butet luwih sering nonton kowe tinimbang kowe nonton Butet yo Ko?"
("Dulu, Butet lebih sering nonton kamu dibanding kamu nonton Butet ya?")
Ada sekitar dua jam kita ngobrol dalam bahasa Jawa, karena itulah bahasa yang membuat kita menjadi merasa lebih dekat dan merasa lebih akrab. Aku sendiri kadang memakai bahasa Indonesia, karena ada dua orang yang lebih nyaman kalau pakai bahasa Indonesia berada di dekatku.
Mas Wendo sendiri terus berbahasa Jawa, kadang bahkan diselipi pisuhan mesra. Mirip Jancuk dalam bahasa Surabaya.
Panggilan pesawat akhirnya yang membuat pertemuan ini harus berakhir. Mas Wendo ke Surabaya dan aku ke Yogyakarta. Pak Agus yang ikut menemani kita ke kalimantan.
Sepanjang perjalanan Jakarta - Yogya aku terlelap dengan sesungging senyuman di bibirku. Nyaman benar bertemu dan bicara gaya seniman.
2 komentar:
wah kalau mas eko temannya mas wendo, saya penggemarnya.
bahkan sebuah buku mengarang itu gampang karya mas wendo menjadi inspirasi besar bagi saya sejak SD untuk menulis. buku itu luar biasa, meski dulu saat membaca banyak gak ngertinya. tapi hingga kini masih terngiang-ngiang isinya.
Aku teman sekaligus penggemar mas Din.
Dulu waktu masih suka baca majalah Hai dan mas Wendo jadi redaksinya, pernah datang ke kantornya dan melihat majalah hai yang akan terbit minggu depannya.
"Mana majalah yang akan terbit mas?"
Salam sehati
Posting Komentar