Masa SD [1]
Aku masih ingat waktu itu ibu mengajakku ke ruang kepala sekolah SD Netral. Isi pembicaraan tidak kuperhatikan, yang jelas pak Kepala Sekolah waktu itu, yang kemudian kutahu ternyata rumahnya dekat rumahku, dengan ramah menanyaiku tentang soal berhitung dan dengan senyum puas dia mendengarkan jawaban-jawabanku. Itulah awal sekolahku kemudian di SD Netral Putra "A", setelah selesai di TK Netral.
Satu peristiwa mencekam terjadi saat suatu siang di bulan Desember 1966 [?], kulihat rombongan kaum tionghoa berlari-lari di depan rumahku. Kebanyakan dari mereka menangis tersedu-sedu. Rupanya sekolah Cina yang ada di Sutodirjan, dekat rumahku, ditutup dan semua orang yang ada di situ diusir keluar.
Sejak saat itu, kita bebas main di sekolah itu. Banyak pohon pinus di sekolah itu dan sangat menyenangkan bermain bola disitu, meskipun hanya memakai bola plastik. Itulah lapangan terbesar yang bisa kita pakai untuk bermain bola.
Aku tidak tahu juga kenapa aku lebih suka bermain sebagai pemain belakang saat itu, padahal tubuhku cukup kecil. Mungkin karena aku berani "gaprakan" [beradu kaki] dengan pemain lawan, jadi teman-teman mempercayakan posisi itu kepadaku.
Masa SD adalah masa yang sangat menyenangkan. Bagaimana tidak, aku dipilih sebagai ketua kelompok belajar dan teman-temanku wajib datang ke rumahku untuk belajar bersamaku. Kuajari mereka tentang pelajaran sekolah.
Satu hal yang membuatku puas adalah salah satu muridku. Namanya Dodi Sumbodo Singgih. Dia adalah murid yang ganteng, kaya dan masuk seleb di kelasku, tetapi setiap belajar ke rumahku seperti anak kucing yang begitu mudah kuelus-elus.
Nilai kelulusanku juga cukup membanggakan, Berhitung mendapat angka 10 dan rata-rata nilaiku adalah 9.
Di masa SD inilah aku mulai kenal komik wayang A.Kosasih dan sering mempraktekkan cara jalan Anoman saat berangkat ke sekolah. Meski begitu panggilan akrab dari teman-tremanku adalah PETRUK. Mungkin karena aku dianggap lucu, maka aku dipanggil dengan nama itu, padahal ketinggian tubuhku tidak cocok dengan nama itu.
Di kelas, ada tiga orang yang dianggap bisa melucu, sehingga suatu saat diminta untuk maju ke depan kelas dan disuruh melawak di depan teman-teman lain.
Bener-bener lawakan yang garing, soalnya kita bertiga belum pernah jadi satu panggung dan belum pernah melihat pementasan lawak. Jadinya kita hanya main band di depan dengan menggunakan sapu. Seingatku tidak banyak yang ketawa saat melihat pertunjukkan itu. Asli jayus...!:-)
Disamping komik wayang, aku juga mulai membaca kisah suling emas dari Kho Ping Ho. Selanjutnya bisa ditebak, akupun larut dalam dunia persilatan ala Asmaraman Kho Ping Ho.
Sebagai penyeimbang, akupun membaca Mahesa Jenar, sehingga akupun suka bertingkah bak Kebo Kanigara yang begitu bijak dan jago berkelahi.
Ada pengalaman yang sampai sekarang masih sangat kusesali. Itulah saat di sekolah mengundang tukang sulap. Aku dan beberapa teman yang tidak setuju acara itu langsung jalan-jalan tanpa arah sampai acara sulap itu selesai.
Ada beberapa penyebab, kenapa aku tidak suka acara itu :
1. Acaranya berbayar, sehingga menurutku lebih baik uangnya dipakai untuk jajan daripada untuk mbayar acara itu
2. Bapakku juga bisa sulap, jadi buat apa nonton sulap?
Yang lebih menjengkelkan lagi adalah pagi hari sebelum acara itu dilaksanakan. Semua murid klasku diminta untuk mengambil kursi yang ada di kelasku dan juga di kelas lain untuk ditata di ruang pertunjukkan.
"Kenapa hanya murid-murid SD Netral A yang bekerja, sementara itu Netral B dan Netral C tetap saja nyantai di ruang masing-masing", begitulah protes kita sekelas.
Tapi mana ada yang peduli dengan protes anak SD, sehingga tetap saja kita disuruh mengambil dan menata kursi. Selesai menata kursi, aku langsung jalan-jalan dengan beberapa teman yang satu ide denganku, sampai kami merasa saatnya untuk kembali ke sekolah.
Sampai di sekolah benar saja, acar asudah selesai dan teman-temanku mulai menutup pintu keluar sekolah dan mulai mengkompas anak-anak murid Netral B yang mau pulang. Rupanya teman-temanku masih jengkel dengan masalah kursi tadi pagi.
Yang konyol adalah aku dan teman-temanku yang tidak nonton sulap ternyata tetap wajib mbayar iuran tontonan sulap. Protes seperti apapun tidak menggoyahkan keputusan sekolah. Akhirnya kita hanya bisa uring-uringan sendiri.
Perbuatan konyol yang lain adalah ketika aku berantem dengan teman-temanku sendiri. Mereka menyandera tasku dan aku akhirnya pulang tanpa membawa tas. Rupanya dari jauh teman-temanku memberi tanda bahwa sudah tidak musuhan lagi dan meletakklan tasku di pinggir jalan. Aku yang jengkel dengan mereka tetap saja berjalan menuju rumah, tanpa peduli dengan tasku.
Tentu saja tasku hilang diambil orang lewat. Duh...kalau inget masih jengkel deh aku dengan diriku sendiri. Tas sebagus itu dan dibeli dengan uang yang harus dicari dengan penuh keringat akhirnya harus hilang karena alasan yang sangat sepele.
Jangan terulang lagi deh....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar