Sejak seminggu ini aku mengalami kondisi yang tidak mengenakkan. Kepalaku bagian belakang berdenyut-denyut dan rasanya sangat sakit, tapi selalu saja kubiarkan dan tidak segera pergi ke dokter. Apalagi masukan dari teman-teman sangat menggoda.
"Jangan manja dengan tubuhmu, Dia bisa mereparasi sendiri!"
Jadilah aku keliling ke berbagai pelosok kota Yogyakarta, bersenda gurau dengan para korban erupsi Merapi dan denyutan di kepala belakang ini tiba-tib atidak terasa lagi. Denyutan itu baru terasa kembali begitu tanganku kulambaikan kepada para korban erupsi Merapi itu.
Banyak hal yang kudapat dari kunjungan ke para korban erupsi merapi itu. Yang pertama tentu dapat salak lengkap dengan debu vulkaniknya dan ternyata tetap manis rasanya.
Yang kedua adalah rasa haru yang tak terbendung lagi melihat wajah-wajah cerah mereka ketika tanganku menyalami tangan mereka. Senyum adik-adik, senyum nenek-nenenk yang begitu tulus membuatku rasanya ingin melelehkan air mata di depan mereka.
"Lho pak Agus kok sudah sampai disini. Anakku baru saja ngasih tahu kalau pak Agus mau kesini dan cucuku sudah kusuruh menunggu di simpang empat agar pak Agus tidak tersesat jalan"
"Lho memangnya cucunya nenek kenal sama pak Agus?"
Tertawa berderai mengiringi kejadian lucu ini. Bagaimana bisa mengetahui mobil mana yang dinaiki pak Agus, pemanduku di Jogya, kalau cucu nenek itu tidak kenal dengan mobil pak Agus?
Setelah capek berkeliling, seharusnya aku pulang saja dan istirahat, tetapi ternyata nafsu kebandelan masih tertanam erat di otak, sehingga aku malah melihat sepasang alat gali yang sedang bekerja menggali lahar dingin yang ada di kali Gendol.
Begitu melihat cara kerja alat gali itu, aku langsung pingin ketemu dengan penanggung jawab alat itu. Dari sisi teknis memang tidak ada masalah dengan metode kerja yang dilakukan, tapi dari sisi K3 (safety), maka ada beberapa hal yang hatrus kudiskusikan. Akibatnya aku jadi tidak segera istirahat, tapi malah mencari teman diskusi.
Dalam kondisi yang masih labil ini, aku malah dapat tugas untuk mengawal Mario Teguh sebagai eMCe. Tentu aku keberatan, karena aku memang kurang respek terhadap Mario Teguh, tapi aku tidak punya alasan untuk keberatan, jadi kuterima saja pekerjaan itu.
Alhamdulillah, ternyata openampilan Mario Teguh sangat berbeda saat pertunjukan langsung dibanding yang di layar kaca. Akupun jadi naik adrenalin karena hal ini. Termotivasi oleh segala tingkah polah Mario Teguh akupun kembali lupa bahwa aku sedang sakit.
Akibatnya begitu acara Mario Teguh selesai, sakit itu sudah tak tertahankan lagi. Dengan terpaksa akupun menghadap dokter dan dengan tegas dokter menyuruhku untuk berbaring di ranjang dan selang oksigen langsung masuk ke mulutku. Tekanan darahku terukur berada pada angka 180/110.
Selesai minum obat kepalaku terasa sudah baikan, tetapi begitu selesai menulis artikel ini aku kembali merasakan kepalaku berdenyut lagi di bagian belakang. Dengan sisa-sisa kebandelan yang ada kuselesaikan tulsian ini dengan menambah beberapa gambar dulu.
Salam Sehati.
1 komentar:
makasih komentarnya mas Yogi
langsung ke TKP deh...
Salam sehati
Posting Komentar